KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami penjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas
rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Pemikiran Kalam Ulama’ Modern Menurut
Muhammad Arkoun Dan Fazlur
Rohman”
Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak
kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan
yang kami miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami
harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam
menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada Dosen kami yang telah memberikan
tugas dan petunjuk kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.
Tanah Merah, Oktober
2017
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL .................................................................................... i
KATA
PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI
................................................................................................ iii
BAB I
PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A.
Latar Belakang ........................................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah ................................................................................... 1
C.
Tujuan ...................................................................................................... 1
BAB II
PEMBAHASAN ............................................................................. 2
A. Pengertian Ilmu Kalam............................................................................. 2
B. Latar Belakang Lahirnya Ilmu Kalam...................................................... 4
C. Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu
Kalam......................................... 6
D. Pemikiran Tokoh-Tokoh Kalam
Kontemporer.......................................... 8
BAB III PENUTUP...................................................................................... 21
A. Kesimpulan .............................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 22
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu Kalam
adalah ilmu yang membahas aspek ketuhanan dan segala sesuatu yang berkait
dengan-Nya secara rasional, dan inilah yang sekaligus menjadi obyek formanya.
Sementara metodologinya, adalah upaya memahami ayat-ayat al-Qur’an dan
al-Sunnah secara mendalam, yang biasa dikenal dengan istilah dialog ilmiah
keagamaan. Sebagai sebuah disiplin ilmu, Ilmu Kalam berada satu rumpun dalam
disiplin ilmu Pemikiran dalam Islam.
Secara
ilmiah, Ilmu Kalam dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu: Pertama,
Ilmu Kalam klasik teoritik yang hanya membahas secara teoritik aspek-aspek
ketuhanan dan berbagai kaitan-Nya, yang selama ini dibicarakan oleh berbagai
aliran teologi Islam. Kedua, Ilmu Kalam kontemporer praktik, yang secara
praktik membahas ayat-ayat Allah dan Sunah-sunah Rasul-Nya yang nilai
doktrinnya mengadvokasi berbagai ketimpangan sosial. Bagian kedua ini dapat
dikembangkan lagi menjadi tiga kategori: Pertama, Teologi Lingkungan; kedua,
Teologi Transformatif dan ketiga Teologi Sosial.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah
Pengertian Ilmu Kalam?
2.
Bagaimana
Latar Belakang Lahirnya Ilmu Kalam?
3.
Bagaimana
Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Kalam?
4.
Bagaimana
Pemikiran Tokoh-Tokoh Kalam Kontemporer?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
Apakah Pengertian Ilmu Kalam
2.
Mengetahui
Bagaimana Latar Belakang Lahirnya Ilmu Kalam
3.
Mengetahui
Bagaimana Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Kalam
4.
Mengetahui
Bagaimana Pemikiran Tokoh-Tokoh Kalam Kontemporer
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ilmu Kalam
Ilmu Kalam
atau Teologi Islam diisitilahkan oleh berbagai pakarnya dengan beragam nama.
Abu Hanifah memberi nama dengan istilah ‘ilmu fiqh al-akbar. Imam Syafi’ie,
Imam Malik, dan Imam Ja’far al-Sadiq memberi nama dengan istilah ‘Ilmu al-Kalam
(tokohnya disebut al-Mutakallimun). Imam al-Asy’ari, al-Bagdady, dan beberapa
tokoh al-Azhar University memberi nama dengan istilah ‘Ilmu Ushul al-Din.
Al-Thahawi, al-Ghazali, al-Thusi, dan al-Iji memberi nama dengan istilah ‘Ilmu
al-Aqa’id. Abdu al-Jabbar memberi nama dengan istilah ‘Ilmu al-Nadhar wa
al-Istidlal. Al-Taftazani memberi nama dengan istilah ‘Ilmu al-Tauhid wa
al-Shifah. Muhammad ‘Abduh memberi nama dengan istilah ‘Ilmu al-Tauhid. Harry
Austyn Wolfson memberi nama dengan istilah The Philosophy of Kalam. Ahmad
Mahmud Shubhy memberi nama dengan istilah ‘Ilmi al-Kalam. M Abdel Haleem
memberi nama dengan istilah Speculative Theology. C A Qadir memberi nama dengan
istilah Dialectica Teology. Sementara itu Harun Nasution memberi nama dengan
istilah Teologi Islam.
Tetapi
sebagai istilah, kalam tidaklah dimaksudkan "pembicaraan" dalam
pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar
dengan menggunakan logika. Maka ciri utama Ilmu Kalam ialah rasionalitas atau
logika. Karena kata-kata kalam sendiri memang dimaksudkan sebagai ter jemahan
kata dan istilah Yunani logos yang juga secara harfiah berarti
"pembicaraan", tapi yang dari kata itulah terambil kata logika dan
logis sebagai derivasinya. Kata Yunani logos juga disalin ke dalam kata Arab
manthiq, sehingga ilmu logika, khususnya logika formal atau silogisme ciptaan
Aristoteles dinamakan Ilmu Mantiq ('Ilm al-Mantiq). Maka kata Arab
"manthiqi" berarti "logis".
Dari
beberapa nama yang menjadi istilah, tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya
istilah ilmu kalam itu merupakan transformasi dari pemikiran teologi yang telah
berkembang di dunia Barat pada masa sebelumnya. Berkenaan dengan itu, terdapat
pakar yang mendefinisikan ilmu kalam sebagai diskursus atau pemikiran tentang
Tuhan. Bahkan dengan mengutip istilah yang diberikan oleh William Ockham, L
Reese menyatakan bahwa Teologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang meletakkan
kebenaran wahyu, lewat argumen filsafat dan ilmu pengetahuan yang independen.
Dengan nada yang hampir sama Ibn Khaldun seperti dikutip oleh Mushthafa Abd.
Al-Raziq memberikan definisi “Ilmu kalam adalah sebuah disiplin ilmu berkaitan
dengan keimanan yang diperkuat dengan menggunakan argumentasi-argumentasi
rasional.
Defenisi
Ilmu kalam oleh beberapa ilmuwan Islam telah dirangkum oleh Al-khendra yaitu
bahwa menurut Abu Zahroh ilmu kalam membahas segala macam persoalan sekitar
dzat, nama, dan sifat Tuhan serta masalah yang pelik, seperti persoalan qodar,
ikhtiar, atau kebebasan kemauan manusia, dan dengan itu terbawalah pembicaraan
tentang bermacam-macam golongan filsafat dan agama yang meluas dan mendalam.
Menurut Thabathaba’i kalam ialah pencarin kebenaran dengan jalan pemikiran
dialektika. Menurut Abu Bakar Aceh kalam ialah pembahasan tentang
perbincangan-perbincangan menyangkut soal ketuhanan. Kontowijoyo mengungkapkan
bahwa kalam adalah kajian-kajian keislaman yang memiliki dua model, pertama
kajian ulang tentang ajaran-ajaran mormatif dalam berbagai karya klasik, kedua
cenderung perlunya orientasi pemahaman keagamaan pada realitas kekinian yang
empiris. Sedangkan Nurcholis Majid menguraikan pengertian ilmu kalam sebagai
berikut : Secara harfiah, kata kalam berarti “pembicaraan”. Tetapi istilah
kalam tidaklah dimaksudkan “pembicaraan” dalam pengertian sehari-hari,
melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika,
maka ciri utama ilmu kalam ialah rasionalitas atau logika. Karena kata-kata
kalam sendiri memang dimaksudkan sebagai terjemahan kata dan istilah Yunani
“logos” yang juga secara harfiyah berarti “pembicaraan”, tetapi yang dari kata
itulah terambil kata logika dan logis sebagai derivasinya.
B.
Latar Belakang Lahirnya Ilmu Kalam
Bila
mengikuti alur pemikiran Ahmad Hanafi dalam “Theologi Islam”, bahwa sebab
musabab munculnya ilmu kalam terdiri dari aspek, intern dan ekstern. Penyebab
intern karena memang di dalam Islam sendiri (al-Quran) banyak peluang
penafsiran terhadap persoalan ilmu kalam, mengajak kepada tauhid, mempercayai
kenabian, kemudian ada semangat mengkaji al-Qura’n dari umat Islam itu sendiri sehingga
muncul persoalan-persoalan baru dalam kajian keimanan yang melibatkan aqal
sebagai pemberi alasan. Disamping itu ada pergolakan politik yang bergeser ke
persoalan aqidah. Sedangkan penyebab ekstern ditandai dengan pertama, banyaknya
pemeluk-pemeluk agama lain yang masuk Islam sehingga terjadi pergesekan
pemikiran agama-agama. kedua , berawal dari gerakan dakwah untuk membantah
alasan-alasan yang memusuhi Islam maka menggunakan senjata mereka (filsafat)
untuk mengimbangi argument-argument keagamaan. Ketiga, para intelektual muslim
banyak yang mempelajari filsafat sehingga masuklah unsur filsafat dalam kajian
ilmu kalam.
Berbeda
dengan Ahmad Hanafi, Harun Nasution mengungkapkan bahwa persoalan aqidah dalam
Islam sebagai agama pertama-pertama timbul adalah dalam bidang politik dan
bukan dalam bidang teologi. Tetapi persoalan-persoalan politik itu segera
bergeser dan meningkat dalam bidang-bidang teologi. Dengan kata lain pembahasan
teologi itu berasal dari persoalan politik.11 Dalam kajian Harun Nasution, awal
kemunculan ilmu kalam bermula dari persoalan pergesekan politik pada waktu itu.
Pergesekan politik yang dimaksud adalah ketika terjadi pembunuhan kholifah
Usman yang disebut dalam sejarah dengan “Fitnatul Qubro”. Pihak Ustman yang
diwakili oleh Muawiyah kerabat dekat Usman bin Affan (waktu itu sudah menjadi
gubernur Damaskus) menuntut balas kematian saudaranya. Muawiyah menuntut agar
kholifah Ali Bin Abi Tholib menyerahkan pelaku pembunuhan terhadap Ustman
Sehingga terjadilah pertempuran ( perstiwa shiffin). Penyelesaian sengketa
antara Ali Bin Abi Tholib dan Muawiyah Bin Abi Sofyan dengan jalan arbitrase
(tahkim) oleh kaum Khawarij dipandang bertentangan dengan ajaran Islam terutama
surat Al-Maidah ayat 44.
Penggunaan
term kafir lama-kelamaan menjadi perdebatan yang sangat serius sehingga
kemudian bergesar menjadi persoalan siapa yang kafir, kalau kafir berarti
murtad dan jika murtad berarti boleh dibunuh dan akhirnya mereka yang kafir,
murtad akan masuk neraka. Term kafir, murtad, surga, neraka merupakan istilah
yang digunakan dalam agama. Hal ini sudah memasuki wilayah aqidah. Sehingga
tidak berlebihan bila Harun Nasution mengatakan bahwa berkembangnya “aliran
teologi” dalam Islam dimulai dari persoalan dan pergolakan politik.
Berawal
dari peristiwa perang Shiffin itulah muncul berbagai kelompok (belum menjadi
sekte). Pertama adalah kelompok Ali bin Abi Tholib yang selalu setia mengikuti,
membela Ali yang kemudian dinamakan aliran “Syiah”. Kelompok kedua adalah
pengikut Ali yang tidak setuju dengan adanya proses “tahkim” atau “arbitrase”,
sehingga kemudin memisahkan diri dan bahkan dengan kalimat yang ekstrim
“keluar” (khoroja) yang terkenal dengan kelompk “Khawarij” . Kelompok ketiga
adalah pasukan Muawiyah bin Abi Sofyan sebagai kelompok pemenang dalam politik
praktis karena kelompok Ali bin Abi Tholib kalah dalam proses perundingan,
mereka dinamakan “Al-Jami’ah”.
Dari
keempat kelompok ini kemudian berkembang untuk saling memperkuat posisi
masing-masing dengan berbagai cara dan strategi. Salah satunya adalah dengan
menggunakan “dalil agama”. Agama sebagai kendaraan politik dipakai untuk
memberikan dukungan oleh masing-masing kelompok. Sehingga pada masa ini
berkembang juga selain penafsiran-penafisran wahyu, muncul juga hadits-hadits
maudlu yang intinya upaya penguatan terhadap kelompoknya.
Perkembangan
selanjutnya, kelompok-kelompok tersebut berubah menjadi paham atau sekte.
Muncul aliran “Khawarij” yang dipelopori oleh Abdullah Ibn Wahab Al-Rasyidi.
Sebagai reaksi timbul aliran “Murjiah” yang dipelopori oleh Ghilan Al-Dimasyqi.
Pengikut Ali yang selalu dipojokan dengan persoalan tahkim maka muncul pula
pengikut setia bahkan fanatik Ali bin Abi Tholib yaitu kaum “Alawi” atau
terkenal denagn “Syiah”. Ketika terjadi gesekan-gesekan ideology persoalan “Ketuhanan”
maka tampil Wasil Bin Atho dengan tidak sependapat denagn konsep keputusan
diserahkan seluruhnya kepada Tuhan. Maka Wasil keluar dari pengajian Hasan
Basri (ahli Hadits) dengan panggilan “Mu’tazilah”. Aliran Qodariyah sebenarnya
kelanjutan dari efek penggunaan rasio sebagai alat untuk membedah ideology
ketuhanan maka muncul free will dan free act (kebebasan kehendak dan
perbuatan). Jabariyah adalah kebalikan dari Qodariyah yang mengatakan bahwa
manusia tidak mempunyai kekuatan dalam kehendak dan perbuatan. Hidup manusia
itu terpaksa dalam bingkai “Kehendak Tuhan”. Dari pergolakan pemikiran ini maka
bermunculanlah tokoh-tokoh pembanding, penganalisis, bahkan penentang dari
berbagai paham yang muncul pada waktu itu maka lahirlah tokoh-tokoh seperti Maturidi,
Al-Asy-’Ari yang kemudian membentuk sebuah komunitas faham yang bernama “Ahli
Sunnah wal Jama’ah”. Ahlis Sunnah maksudnya golongan yang mengembalikan Sunnah
atau tradisi sedangkan “Jama’ah” karena pada waktu itu pemikirannya berada di
pihak mayoritas yang terdiri dari masyarakat luas.
C.
Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu
Kalam
Sama
halnya dengan disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam juga tumbuh beberapa
abad setelah wafat Nabi. Tetapi lebih dari disiplin keilmuan Islam lainnya,
Ilmu Kalam sangat erat terkait dengan skisme dalam Islam. Karena itu dalam
penelusurannya ke belakang, kita akan sampai kepada peristiwa pembunuhan
'Utsman Ibn 'Aff'an, Khalifah III. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam
yang sering dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar), sebagaimana telah
banyak dibahas, merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di
berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan.
Maka Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan
juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu.
Secara
historis, teologi islam bermula sebagai sebuah advokasi keagamaan terhadap
ketimpangan sosial (teologi sebagai sebuah axiologi) yang berkembang pada
masanya. Untuk kepentingan ini, doktrin keagamaan diinterpretasikan secara
rasional, sehingga dapat dijadikan argumen teologis untuk membacking
pemikiran/gagasan/idea yang substansinya menentang ketimpangan sosial yang
sedang terjadi.
Belakangan,
teologi berkembang menjadi sebuah metodologi (Theology as Method). Sehingga
sebagai sebuah metodologi/pendekatan, teologi merupakan salah satu diantara
beberapa pendekatan yang telah digunakan oleh para ahli sains masa lalu. Di
dalam perkembangannya, pendekatan ini juga digunakan oleh para ahli keislaman.
Pada masa-masa berikutnya, barulah teologi berkembang menjadi sebuah disiplin
ilmu. Dan sebagai sebuah disiplin ilmu di dunia islam, Ilmu Kalam berkembang
sejak Abu Hasyim dan kawannya Imam al-Hasan bin Muhammad bin Hanafiah, dan para
tokoh Mu’tazilah. Adapun orang pertama yang membentangkan pemikiran ilmu kalam
secara lebih baik lewat logikanya adalah Imam al-Asy’ari, seorang tokoh teologi
Suni, dengan karya yang terkenal al-Maqalat, juga al-Ibanah ‘an ushul
al-diyanah. Teologi ini selain mempunyai obyek kajian tersendiri, yaitu
membicarakan ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya, maksudnya
keyakinan kebenaran keagamaan islam; ilmu ini juga telah tersusun dengan
baik/tersistematisasikan di dalam membahas obyek kajian itu; dan mempunyai
metodologi tersendiri yaitu dialog ilmiah keagamaan, serta dimaksudkan untuk
memenuhi kebutuhan salah satu dari tiga unsur keimanan seorang Muslim, yaitu
dalam aspek nuthqun bi al-lisan.
Pada
akhir-akhir ini Ilmu Kalam atau Teologi Islam telah berusaha menjadi sebuah
advokasi bagi permasalahan sosial atau menjadi sebuah axiologi. Hal ini tampak
dengan berkembangnya istilah-istilah seperti teologi feminisme, teologi gender,
teologi kemiskinan, teologi kaum tertindas, teologi transformatif, teologi
pembebasan, dan berbagai macam istilah lagi.
D.
Pemikiran Tokoh-Tokoh Kalam
Kontemporer
1. Mohammed
Arkoun
Mohammed
Arkoun lahir pada tanggal 2 Januari 19283 di perkampungan Berber, sebuah desa
di kaki gunung Taorirt-Mimoun, Kabilia, sebelah timur Aljir, Aljazair.
Keluarganya berada pada strata fisik dan sosial yang rendah. Pendidikan dasar
Arkoun ditempuh di desa asalnya, dan kemudian melanjutkan sekolah menengah di
kota pelabuhan Oran, sebuah kota utama di Aljazair bagian barat, yang jauh dari
Kabilia. Kemudian, dia melanjutkan studi bahasa dan sastra Arab di Universitas
Aljir (1950-1954), sambil mengajar bahasa Arab pada sebuah Sekolah Menengah
Atas di al-Harach, yang berlokasi di daerah pinggiran ibukota Aljazair. Pada
saat perang kemerdekaan Aljazair dari Perancis (1954-1962), Arkoun melanjukan
studi tentang bahasa dan sastra Arab di Universitas Sorbonne, Paris.
Pada tahun
1961, Arkoun diangkat sebagai dosen di Universitas Sorbonne, Paris, sampai
tahun 1969, saat ketika dia menyelesaikan pendidikan doktor di bidang sastra
pada Universitas tersebut. Arkoun menulis desertasi doktor mengenai humanisme
dalam pemikiran etis Miskawaih (w. 1030 M), seorang pemikir Arab di Persia pada
abad X M yang menekuni kedokteran dan filsafat. Miskawaih dikenal sebagai tokoh
yang menguasai berbagai bidang ilmu dan menekuni persamaan dan perbedaan antara
Islam dengan tradisi pemikiran Yunani. Semenjak menjadi dosen di Universitas
Sorbonne tersebut, Arkoun menetap di Perancis dan menghasilkan banyak karya yang
dipengaruhi oleh perkembangan mutakhir tentang islamologi, filsafat, ilmu
bahasa dan ilmu-ilmu sosial di dunia Barat, terutama di dunia tradisi keilmuan
Perancis.
Jenjang
pendidikan dan pergulatan ilmiah yang ditempuh Arkoun membuat pergaulannya
dengan tiga bahasa (Berber Kabilia, Arab dan Perancis) dan tradisi serta
kebudayaannya menjadi semakin erat. Di kemudian hari, barangkali inilah yang
cukup mempengaruhi perhatiannya yang begitu besar terhadap peran bahasa dalam
pemikiran dan masyarakat manusia. Ketiga bahasa tersebut sesungguhnya mewakili
tiga tradisi, orientasi budaya, cara berpikir dan cara memahami yang berbeda.
Bahasa Berber Kabilia merupakan alat untuk mengungkapkan berbagai tradisi dan
nilai mengenai kehidupan sosial dan ekonomi yang sudah ribuan tahun usianya,
bahasa Arab merupakan alat untuk melestarikan tradisi keagamaan Islam di
Aljazair dan di berbagai belahan dunia Islam lainnya. Sedangkan bahasa Perancis
merupakan bahasa administrasi pemerintahan serta alat untuk mengenal
nilai-nilai dan tradisi keilmuan Barat, terutama Perancis.
Pada tahun
1970-1972 Arkoun mengajar di Universitas Lyon dan kembali lagi ke Paris sebagai
guru besar sejarah pemikiran Islam di Universitas Sorbonne. Karena
kepakarannya, Arkoun sering diundang untuk memberi kuliah dan ceramah ilmiah di
sejumlah universitas dan institusi keilmuan dunia, seperti University of
California, Princeton University, Temple University, Lembaga Kepausan untuk
Studi Arab dan Islam di Roma, Universitas Katolik Louvain-la Neuve di Belgia, Universitas
Amsterdam, Institut of Ismaili Studies di London, dan sebagainya. Dia juga
pernah memberi kuliah di Rabat, Fez, Aljir, Tunis, Damaskus, Beirut, Berlin,
Kolumbia, Denver, Indonesia, dan sebagainya. Didalam menjalani profesinya
sebagai pengajar, Arkoun selalu menyampaikan pendapatnya secara logis
berdasarkan analisis yang memiliki bukti dan interaksi falsafati-religius,
sehingga dapat membangkitkan kebebasan berbicara dan berekspresi secara
intelektual, serta membuka peluang terhadap kritik.
Selain mengajar,
Arkoun juga mengikuti berbagai kegiatan ilmiah dan menduduki jabatan penting di
dunia akademis dan masyarakat. Dia menjabat sebagai direktur ilmiah jurnal
Arabica, anggota Panitia Nasional Perancis untuk Etika dan Ilmu Pengetahuan
Kehidupan dan Kedokteran, anggota Majelis Nasional Perancis untuk AIDS dan
anggota Legiun Kehormatan Perancis (chevalier de la Legion d’honneur). Dia
pernah mendapat gelar kehormatan, diangkat sebagai Officier des Palmes
Academiques, sebuah gelar kehormatan Perancis untuk tokoh terkemuka di dunia
universitas dan pernah menjabat sebagai direktur Lembaga Kajian Islam dan Timur
Tengah pada Universitas Sorbonne Neuvelle (Paris III).
Arkoun
terus mencoba pemahaman-pemahaman yang baru tentang Islam dan kaum Muslim
dengan menggunakan teori-teori mutakhir yang berkembang di dunia Barat modern.
Upaya tersebut dilakukannya untuk memadukan unsur yang sangat mulia di dalam
pemikiran Islam dengan unsur yang sangat berharga di dalam pemikiran Barat
modern (rasionalitas dan sikap kritis).
Pemikiran Kalam Al-Arkom
Pemikiran
Muhammed Al-Arkom sesungguhnya meliputi pemikiran kontemporer keislama secara
umum, yakni menyangkut seluruh aspek ajaran Islam. Adapun pemikirannya di
bidang teologi Islam atau Ilmu Kalam dapat dijabarkan sebagai berikut :
a. Semua hasil semiotik manusia dalam
proses penampakan sejarah dan budaya merupakan sasaran dari perubahan sosial
yang oleh Arkoun disebut sebagai historicity. Dan sebagai artikulasi makna bagi
alat sosial dan budaya, teks al-Qur’an juga merupakan sasaran dari historicity.
Dengan demikian, tidak ada akses dari keberadaan historis kita terhadap
fenomena absolut di luar fenomena dunia wilayah kita. Penampakan-penampakan
yang ditampilkan oleh ontologi (keberadaan kebenaran yang pertama) dan
transendensi milik nalar teologis dan nalar metafisis tentu telah meniadakan
historisitas sebagai dimensi kebenaran. Hal ini terjadi karena, karena
alat-alat, konsep-konsep, definisi-definisi dan postulat-postulat yang terus
berubah digunakan untuk mengetahui kebenaran. Hal ini bertentangan dengan semua
pemikiran abad pertengahan yang didasarkan pada esensi-esensi dan
substansi-substansi yang telah mapan. Konsep wahyu harus ditinjau ulang menurut
sistem semiotik yang menjadi sasaran historisitas. Di dalamnya ada demistifikasi
dan demitologisasi fenomena kitab suci dari semua sakralisasi dan interpretasi
yang dilahirkan oleh nalar teologis.
b. Terdapat berbagai tingkatan dan
bentuk nalar yang berinteraksi dengan angan-angan (imagination) sebagaimana
yang telah ditunjukkan di dalam ketegangan antara logos (kalam yang
dipedebatkan) dengan mythos (kalam yang tidak dapat dipertanyakan), simbol dengan
konsep, metafora dengan realitas, makna dhahir dan makna batin pada sejarah
Islam. Imagination dan imaginaire dianggap sebagai bagian dinamis dari ilmu
pengetahuan dan tindakan. Ideologi-ideologi yang membuat mobilisasi, baik dalam
kerangka agama maupun dalam kerangka sekuler, dihasilkan dan digunakan oleh
imaginaire sosial. Pengaruh imaginaire tersebut sangat menentukan di dalam
masyarakat Muslim seperti di Timur Tengah, karena budaya rasional hanya
mempunyai pengaruh yang sedikit, berbeda dengan masyarakat Barat yang meski
juga masih memiliki imaginaire. Garis pemikiran seperti ini merupakan
pendekatan mitis dalam metodologi analisis antropologis.
c. Iman merupakan kristalisasi dari
angan-angan, penampilan-penampilan, dan ide-ide yang diberikan secara umum oleh
tiap kelompok yang berada di dalam pengalaman sejarah. Dari garis keempat ini,
dapat diketahui bahwa pendekatan Arkoun adalah post-strukturalis semiotis
sosiokritis dengan metodologi linguistik kritis. Dan perlu diketahui bahwa kata
discours menuntut adanya pembicara yang menyampaikan pesan (pengirim), penerima
pesan yang bereaksi terhadap pesan yang disampaikan sesuai dengan situasi
(konteks) pembicaraan yang berupa suatu lingkungan semiologis yang menentukan
emisi dan penerimaan pesan, serta menuntut adanya bahasa yang digunakan sebagai
alat penyampaian pesan yang tentu sangat terkait erat dengan cara pandang dan
cara pikir para penuturnya.
d. Pada saat ini kita sedang mengalami
krisis legitimasi, di mana sistem legitimasi tradisional yang dikemukakan oleh
ilmu Ushul al-Din dan Ushul al-Fiqh sudah tidak memiliki relevansi historis
lagi. Belum ada suatu sistem legitimasi baru yang dibangun dengan suara bulat
di kalangan umat. Namun, menurut Arkoun, pada saat ini kita sedang tertantang
untuk dapat mengajukan sebuah sistem legitimasi bagi ilmu pengetahuan, terutama
bagi pemikiran Islam dengan memakai prinsip-prinsip epistemologi kritis. Yang
perlu dipertanyakan lebih lanjut adalah apa persyaratan teoritis dari sebuah
teologi yang modern, yang ditujukan tidak hanya pada lembaga-lembaga politik,
namun juga pada ilmu pengetahuan yang universal dari tiga agama wahyu (Islam,
Yahudi dan Kristen). Pendapat Arkoun ini bertentangan dengan jaminan teologis
dari pewahyuan atau ontologi klasik mengenai keberadaan awal dari neo-platonik
yang didasarkan pada legitimasi syari’ah yang tidak dapat dipertanyakan itu,
sehingga Arkoun menggugat adanya legitimasi kekuasaan yang dimonopoli oleh
sekelompok orang. Garis pemikiran kelima ini agaknya merupakan pendekatan
kritik epistemologis dari metodologi historis filosofis. Titik sentral
pemikiran Arkoun terletak pada kata kunci kritik epistemologis yang digunakan
dalam banyak konteks yang berbeda-beda dan barangkali terinspirasi dari istilah
“kritik” dalam pemikiran Immanuel Kant, sekalipun bisa jadi memang karena
budaya kritik yang pernah hidup subur di kalangan umat Islam. Kritik
epistemologis ini ditujukan pada bangunan keilmuan agama secara keseluruhan,
yang dilihat Arkoun sebagai produk sejarah yang terkait dengan ruang dan waktu
tertentu.
Wahyu dan Teks Alqur’an
Untuk
kepentingan analisisnya, Arkoun membedakan tiga tingkatan anggitan tentang
wahyu. Pertama, wahyu sebagai Firman Allah yang transenden, tidak terbatas dan
tidak diketahui oleh manusia. Untuk menunjuk realitas wahyu seperti ini,
biasanya dipakai anggitan al-Lauh al-Mahfudh atau Umm al-Kitab. Kedua, wahyu
yang diturunkan dalam bentuk pengujaran lisan dalam realitas sejarah yang
disebut sebagai discours religious dan berfragmen dalam bentuk kitab Bibel
(Taurat dan Zabur), Injil dan Alqur’an. Berkenaan dengan Alqur’an, realitas
yang ditunjuk adalah Firman Allah yang diwahyukan ke dalam bahasa Arab kepada
Nabi Muhammad selama kurang lebih dua puluh tahun. Dan Ketiga, wahyu yang
direkam di dalam catatan, yang ternyata menghilangkan banyak hal, terutama
situasi pembicaraan (sementara asbab alnuzul ternyata belum dapat mengembalikan
hal-hal yang hilang ketika suatu pembicaraan direkam ke dalam tulisan).
Pencatatan
Alqur’an tersebut memiliki sejarah sendiri, yaitu bermula dari tulisan parsial
yang terserak-serak sampai pada penetapan corpus officiel clos (mushaf resmi
tertutup). Pada awalnya, mushaf resmi tertutup ini masih memungkinkan pembacaan
yang berbeda-beda, namun kemudian ditutup dengan adanya dua “pembakuan”.
“Pembakuan” tersebut, adalah pertama oleh Abu Bakr Ibn Mujahid pada tahun 324 H
yang mengakhiri kemungkinan varian-varian bacaan dengan hanya mengesahkan tujuh
bacaan saja, dan kedua, oleh adanya penerbitan Alqur’an standar di Kairo tahun
1924 M yang kemudian disebarluaskan ke seluruh dunia.
Penyebaran
dalam skala teks ini membuat tidak bisa dipikirkannya kembali
persoalan-persoalan besar dalam teologi klasik dan tidak bisa dibukanya
kemungkinan adanya suatu penyelidikan yang bertujuan untuk membedakan Qur’anic
fact (le fait coranique) dengan Islamic fact (le fait islamique). Kenyataan
qur’ani memiliki sifat transenden, transhistoris, dan terbuka terhadap berbagai
kemungkinan pemaknaan, sedangkan kenyataan islami memiliki sifat historis dan
merupakan pengejawantahan dari salah satu garis makna yang terkandung di dalam
kenyataan qur’ani.
Kenyataan
islami lahir melalui penafsiran manusia (baik oleh ahli fiqh maupun kalam)
terhadap kenyataan qur’ani, yang dapat dibuktikan dengan banyaknya garis,
aliran, dan corak pemikiran, seperti sunni, syi’i, khariji dan berbagai
cabangnya yang berusaha mendapat pengakuan sebagai pemilik kebenaran tertentu,
walaupun sebenarnya merupakan gerakan politik.
Problem
tersebut kemudian diteruskan dengan munculnya corpus interpretes (korpus-korpus
penafsir) yang lahir sebagai produktifitas teks dan bukan sebagai produktifitas
wacana. Ternyata, kesemua itu kemudian disebut sebagai ajaran suci yang
menghasilkan sejarah penyelamatan manusia. Tentang hal ini, Arkoun juga
menjelaskan dalam bentuk gambar sebagai berikut:
Pembacaan al-Qur’an
Arkoun
menyadari bahwa dengan kelahiran teks Alqur’an, perubahan mendasar di kalangan
umat dalam memahami wahyu telah terjadi. Raison graphique (nalar grafis) telah
mendominasi cara berpikir umat, sehingga logos kenabian (prophetique) didesak
oleh logos pengajaran (professoral). Selain itu juga telah terjadi pemiskinan
kemungkinan untuk memahami wahyu dari segala dimensinya. Dalam kategori
semiotik, teks Alqur’an sebagai parole didesak oleh teks sebagai langue,
sehingga Alqur’an kini tetap menjadi parole bagi kaum mukmin. Langue adalah
keseluruhan kebiasaan yang diperoleh secara pasif yang diajarkan oleh
masyarakat bahasa, dan parole adalah keseluruhan apa yang diujarkan orang dan merupakan
manifestasi individu dari bahasa. Untuk itulah, menurut Arkoun, tujuan qira’ah
adalah untuk comprendre, mengerti komunikasi kenabian yang hendak disampaikan
lewat teks yang bersangkutan, yaitu mencari makna yang hendak disampaikan lewat
teks tersebut, dengan cara mengoptimalkan setiap kemungkinan untuk mereproduksi
makna.
Arkoun
melihat, paling tidak ada tiga macam cara pembacaan Alqur’an. Pertama, secara
liturgis, yaitu memperlakukan teks secara ritual yang dilakukan pada saatsaat
shalat dan doa-doa tertentu. Pembacaan liturgis ini bertujuan untuk
“mereaktualisasikan saat awal ketika Nabi mengujarkannya untuk pertama kali”
agar didapatkan kembali keadaan ujaran (situation de discours) dari “ujaran 1”.
Dengan
cara ini, manusia melakukan komunikasi rohani, baik secara horisontal maupun
vertikal, dan sekaligus melakukan pembatinan terhadap kandungan wahyu. Kedua,
pembacaan secara eksegesis yang berfokus utama pada “ujaran 2”, yaitu ujaran
yang termaktub di dalam mushaf, seperti yang dilakukan oleh Fakhr al-Din
al-Razi (w. 606 H/1209 M). Dan ketiga, cara baca yang ingin dikenalkan oleh
Arkoun, yaitu dengan cara memanfaatkan temuan-temuan metodologis yang
disumbangkan oleh ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu bahasa.
Menurut
Arkoun, ketiga cara baca tersebut tidak saling menyisihkan satu sama lain, dan
bahkan saling memberikan sumbangan untuk memahami teks-teks Illahi yang tidak
akan pernah tuntas dikupas oleh manusia. Untuk pembacaan seperti itu, Arkoun
mengajukan tahap pembacaan Alqur’an ke dalam dua tahap kritis, yaitu tahap
linguistik kritis dan tahap hubungan kritis. Dalam tahap pertama, pembacaan
dilakukan dengan memakai data-data linguistik (seperti tanda-tanda bahasa,
modalisateurs du discours, aras sintaksis, aras semantik dan sebagainya) untuk
mengetahui maksud dari pengujar (locateurs). Dan pada tahap kedua, pembacaan
dilakukan dengan menempuh dua langkah, langkah kesatu eksplorasi historis
(meneliti khazanah tafsir klasik dan berupaya menemukan petanda terakhir di
dalamnya dengan kode-kode linguistik, keagamaan, kultural, simbolis, anagogis,
dan sebagainya) dan langkah kedua eksplorasi antropologis (dilakukan dengan
analisis mitis/simbolis, dengan memeriksa tanda, simbol dan mitos yang
menyertai sebuah qira’ah).
Pemikiran-pemikiran
Arkoun yang telah dikemukakan tersebut, ternyata mendapatkan sambutan di
kalangan intelektual Muslim di seluruh dunia. Corak pemikiran model Arkoun
dinilai oleh beberapa kalangan sebagai corak yang sangat berbeda dengan
pemikiran Islam yang telah ada. Telaah Arkoun, berbeda dengan telaah model
orientalis (yang juga dikritiknya) dan berbeda dengan model pemikiran kaum
Muslim lainnya.
Arkoun
berbeda dengan Hassan Hanafi yang bobot kalam dan filsafatnya sangat kental,
atau berbeda dengan Sayyid Hussein Nasr yang bobot tasawwuf dan filsafatnya
sangat menonjol dan lebih-lebih lagi berbeda dengan model Ismail Raji al-Faruqi
dan Syed Muhammad Naquib al-Attas yang lebih bernuansa islamisasi ilmu
pengetahuan. Arkoun yang post-modernis berbeda dengan Fazlur Rahman yang
modernis dengan belum begitu tegas dan tandas dalam menguraikan metodologi dan
alat keilmuan yang diperlukan untuk mencapai tujuan rekonstruksi sistematis dan
bahkan sesekali ragu jika harus dihadapkan dengan pilihan antara model
pemikiran Islam yang beraroma “normatif” atau “historis empiris”, yang kemudian
dijawab secara tegas oleh Arkoun dengan memilih yang “historis empiris”. Arkoun
bahkan juga mengkritik pemikiran Taha Husein dan Ali Abd Raziq sebagai
pemikiran yang tidak didasarkan pada kebijaksanaan untuk mencari kompromi
antara kebebasan intelektual yang tercerahkan dengan prasangka-prasangka
keagamaan dari massa.
Namun
demikian, Arkoun dapat ditempatkan sama dengan Edward Said, Fatima Mernissi dan
Hassan Hanafi yang melihat hasil dan pembacaan teks sebagai tindakan politik.
Atau bahkan dapat dinilai sama seperti Nasr Hamid Abu Zayd yang menempatkan
teks al-Qur’an sebagai hasil sosial budaya dan mengajukan pembacaan al-Qur’an
dengan tinjauan ilmu semiotik historis.
Karena
karya Arkoun berada di dalam wilayah kajian epistemologi murni dan kurang
menyentuh secara langsung pada bangunan pemikiran keagamaan, maka karya Arkoun
dinilai oleh sementara kalangan kurang memperoleh gaung di dalam masyarakat,
pengikut berbagai agama. Bahasa yang digunakan Arkoun juga dinilai serba rumit
dengan memakai istilah dan anggitan yang tanpa rumusan secara jelas dalam
berbagai artinya yang berbeda-beda, sehingga cukup menyulitkan untuk dipahami,
meskipun begitu mampu menumbuhkan kesadaran untuk memperluas cakrawala ilmu
pengetahuan para pembacanya.
2. Fazlur
Rahman
Fazlur
Rahman lahir pada tanggal 21 September 1919 yang letaknya di Hazara sebelum
terpecahnya India, kini merupakan bagian dari Pakistan. Fazlur Rahman di
besarkan dalam madzhab Hanafi. Madzhab Hanafi merupakan madzhab yang didasari
al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi cara berfikirnya lebih rasional. Dengan
demikian tidak dapat di pungkiri Fazlur Rahman juga rasional di dalam
berfikirnya, meskipun ia mendasarkan pemikirannya pada al-Qur’an dan sunnah.
Fazlur
Rahman dilahirkan dari keluarga miskin yang taat pada agama. Ketika hendak
mencapai usia 10 tahun ia sudah hafal al-Qur’an walaupun ia di besarkan dalam
keluarga yang mempunyai pemikiran tradisional akan tetapi ia tidak seperti
pemikir tradisional yang menolak pemikiran modern, bahkan Ayahnya berkeyakinan
bahwa islam harus memandang modernitas sebagai tantangan dan kesempurnaan.
Ayahnya Maulana Shihabudin adalah alumni dari sekolah menengah terkemuka di
India, Darul Ulum Deoband . Meskipun Fazlur Rahman tidak belajar di Daril Ulum,
ia menguasai kurikulum Dares Nijami yang di tawarkan di lembaga tersebut dalam
kajian privat dengan Ayahnya, ini melengkapi latar belakangnya dalam memahami
islam tradisional dengan perhatian khusus pada fikih, Ilmu kalam, Hadits,
Tafsir, Mantiq, dan Filsafat. Setelah mempelajari ilmu-ilmu dasar ini, ia
melanjutkan ke Punjab University di Lahore dimana ia lulus dengan penghargaan
untuk bahasa Arabnya dan di sana juga ia mendapatkan gelar MA-nya. Pada tahun
1946 ia pergi ke Oxford dengan mempersiapkan disertasi dengan Psikologi Ibnu
Sina di bawah pengawasan professor Simon Van Den Berg. Disertasi itu merupakan
terjemah kritikan dan kritikan pada bagian dari kitab An-Najt, milik filosof
muslim kenamaan abad ke-7, setelah di Oxford ia mengajar bahasa Persia dan
Filsafat Islam di Durham University Kanada dari tahun 1950-1958. ia
meninggalkan Inggris untuk menjadi Associate Professor pada kajian Islam di
Institute Of Islamic Studies Mc. Gill University Kanada di Montreal. Dimana dia
menjabat sebagai Associate Professor Of Philosophy.
Pada awal
tahun 60 an Fazlur Rahman kembali ke Pakistan. Pada bulan Agustus 1946 Fazlur
Rahman di tunjuk sebagai Direktur Riset Islam, setelah sebelumnya menjabat
sebagai staf lembaga tersebut. Selain menjabat sebagai Direktur Lembaga Riset
Islam, pada tahun 1964 ia di tunjuk sebagai anggota dewan penasehat Ideologi
Pemerintah Pakistan. Namun usaha Fazlur Rahman sebagai seorang pemikir modern
di tentang keras oleh para ulama tradisional-findamentalis. Puncak dari segala
kontroversialnya memuncak ketika 2 bab karya momumentalnya, Islam ( 1966 ) di
tentang keras karena pernyataan Fazlur Rahman dalam buku tesebut “ Bahwa
Al-Qur’an itu secara keseluruhan adalah kalam Allah dan dalam pengertian biasa
juga seluruhnya merupakan perkataan Muhammad “ sehingga Fazlur Rahman di anggap
orang yang memungkiri Al-Qur’an kemudian pada 5 September 1986 ia mengundurkan
diri dari jabatan Direktur lembaga Riset Islam yang langsung di kabulkan oleh
Ayyub Khan.
Tidak
kurang dari 18 tahun lamanya Fazlur Rahman menetap di Chicago dan
mengkomunikasikan gagasan-gagasannya baik lewat lisan maupun tulisan sampai
akhir tahun memanggilnya pulang pada tahun 26 juli 1988 jauh sebelum ia sudah
terkena penyakit diabetes yang kronis dan serangan jantung sehingga ia harus di
operasi. Operasi ini berhasil se tidak-tidaknya untuk beberapa minggu hingga
ajal menjemputnya. Kepergian beliau merupakan suatu kehilangan bagi dunia
Intelektual Islam.
Pemikiran Fazlur Rahman
Fazlur
Rahman dengan segala kemampuan intelektualnya sudah tentu tidak bebas dari
kekurangan dan kelemahan. Maka adalah hak kita untuk menerima, menyetujui atau
menolak seluruh atau sebagian hasil pemikirannya untuk semua pada posisi
penerimaan atau penolakan, seorang intelektual pencari kebenaran sudah tentu akan
mengumpulkan berbagai informasi yang berkaitan dengan pendapat dan pemikiran
yang di kemukakan untuk menilai pendapat Fazlur Rahman, orang harus memahami
al-Qur’an sebagai sebuah ajaran yang utuh lebih dulu, di samping Sunnah,
Sejarah Islam dan lain-lain. Di antara pemikiran Fazlur Rahman antara lain :
a. Ia menegaskan bahwa al-Qur’an
bukanlah suatu karya misterius atau karya sulit yang memerlukan manusia
berlatih secara teknis untuk memahami dan menafsirkan perintah-perintahnya, di
sini di jelaskan pula prosedur yang benar untuk memahami al-Qur’an
b. Seseorang harus mempelajari
al-Qur’an dalam Ordo Histories untuk mengapresiasikan tema-tema dan
gagasan-gagasannya.
c. Seseorang harus mengkajikan dalam
konteks latar belakang social historisnya, hal ini tidak hanya berlaku untuk
ayat-ayatnya secara individual tapi juga untuk al-Qur’an secara keseluruhan.
Tanpa memahami latar belakang mikro dan makronya secara memadai. Menurut Fazlur
Rahman, besar kemungkinan seseorang akan salah tangkap terhadap élan dan maksud
al-Qur’an aktifitas Nabi baik di Mekkah atau di Madinah.
d. Dalam karyanya Islam and Modernity
1982 Fazlur Rahman menekankan, akan mutlak perlunya mensistematiskan materi
ajaran al-Qur’an. Tanpa usaha ini bisa terjadi penerapan ayat-ayatnya secara
individual dan terpisah berbagai situasi akan menyesatkan.
Fazlur
Rahman adalah sosok pemikir intelektual yang tinggi di mana ia dapat
menghasilkan karya-karyanya yang begitu banyak dan bermanfaat penting bagi ilmu
pengetahuan kita. Hasil karyanya yang begitu banyak dapat memperluas
pengetahuan tentang tasawuf dan juga filsafat. Dengan berbagai cara dan jalan
yang di tempuh beliau untuk menyampaikan gagasannya yang bernilai sangat tinggi
sebagai suatu gerakan Islam. Dalam pengembangan agamanya adalah perjuangan
beliau selama hidup. Karya-karya yang begitu banyak mengajarkan kita segala
ilmu pengetahuan tentang islam yang pertama kali di ajarkan oleh Nabi Muhammad
SAW. Sebagaimana cara Fazlur Rahman menjelaskan tentang wahyu dan perjalanan
Nabi Muhammad dalam menyebarkan islam. Fazlur Rahman juga menjelaskan apa itu
al-Qur’an dan segala bentuk ajaran agama Islam. Serta asal-usul perkembangan
tradisi sampai perkembangan modern juga tentang filsafatnya telah banyak di
sampaikan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pemikiran Islam kontemporer maksudnya adalah
pemikiran Islam yang berkembang pada masa modern (abad 19 masehi) hingga
sekarang. Ciri khas pemikirannya adalah bersifat agresif yang berkembang dengan
metodo pemikiran baru dalam menafsirkan Al-Qur’an dan peradaban Islam.
Fazlur Rahman adalah satu dari banyak pemikir
Muslim kontemporer yang mengakui secara padu pendekatan ilmiah modern dan
mempertahankan iman secara intensif dan mendalam. Untuk dapat menggabungkan dua
sikap ini, ia mengajukan diri untuk membangun sebuah visi Islam yang murni,
dengan menggunakan pemahaman yang lebih baik terhadap pengalaman Nabi,
kondisi-kondisi historis dan politik yang di dalamnya pengalaman itu terjadi,
dan transformasi-transformasi yang diusahakannya untuk tercipta dalam
masyarakat.
Mohammed Arkoun, Dia mengkritik orang yang
menggunakan Islam untuk kepentingan ideologi. Dia berusaha mencari bentuk lain
hubungan baru antara iman dan pikiran, subyek dan obyek, Islam, Kristen,
Yahudi, Syi’ah, Sunni, Timur, Barat, Utara dan Selatan. Ia juga mengkritik
pemikiran Islam dan orientalis yang tidak membawa umat Islam kepada posisi
sesuai dengan kehendak Tuhan. Pemikiran Arkoun berpusat pada dekontruksi baik
atas pemikiran Islam maupun orientalis dan mencoba untuk merumuskan kembali
Islam yang aktual.
DAFTAR PUSTAKA
Abdou, Filali-Ansary. 2009. Pembaruan Islam dari Mana
dan Hendak Ke Mana? Bandung: Mizan Pustaka.
Bukhori, Pahrurroji M. 2003. Membebaskan Agama Dari
Negara; Pemikiran Abdurrahman Wahid Dan
Ali Abd Ar-Raziq. Bantul: Pondok Sanusi
Haw, Akhmal. 2005. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Palembang : IAIN Raden Patah
Press.
Idrus, Junaidi. 2004. Rekontruksi Pemikiran Nurcholis Madjid
Membangun Visi Dan Misi Baru Islam Di
Indonesia, Sleman: Logung Pustaka,
Nata, Abuddin. 2005. Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia Jakarta:
Rajagrafindo Persada.
Taifikur, Rahman. 2007.
Pemikiran dan Gerakan Pembaruan Islam Abad Modern dan Kontemporer. Surabaya:
Dian ilmu.
Taufik, Akhmad dkk. 2005. Sejarah
Pemikiran Dan Tokoh Modernisme Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
Sulhani Hermawan, Mohammed Arkoun
dan Kajian Ulang Pemikiran Islam, Dinamika Vol. 3 No. 1 Tahun 2004
As stated by Stanford Medical, It's in fact the one and ONLY reason women in this country get to live 10 years more and weigh 42 pounds lighter than us.
BalasHapus(Just so you know, it has NOTHING to do with genetics or some secret-exercise and really, EVERYTHING to do with "HOW" they eat.)
P.S, What I said is "HOW", and not "what"...
TAP this link to see if this little quiz can help you decipher your real weight loss potential