Selasa, 31 Oktober 2017

MAKALAH : Pemikiran Kalam Ulama’ Modern Menurut Muhammad Arkoun Dan Fazlur Rohman

KATA PENGANTAR
                
Puji syukur kami penjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul Pemikiran Kalam Ulama’ Modern Menurut Muhammad Arkoun Dan          Fazlur Rohman”
Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada Dosen kami yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.


Tanah Merah,     Oktober 2017

Penyusun


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................      i
KATA PENGANTAR ..................................................................................      ii
DAFTAR ISI ................................................................................................      iii
BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................      1
A.    Latar Belakang ........................................................................................      1
B.     Rumusan Masalah ...................................................................................      1
C.     Tujuan ......................................................................................................      1
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................      2
A.   Pengertian Ilmu Kalam.............................................................................      2
B.    Latar Belakang Lahirnya Ilmu Kalam......................................................      4
C.    Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Kalam.........................................      6
D.   Pemikiran Tokoh-Tokoh Kalam Kontemporer..........................................      8
BAB III PENUTUP......................................................................................      21
A.    Kesimpulan ..............................................................................................      21
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................      22









BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ilmu Kalam adalah ilmu yang membahas aspek ketuhanan dan segala sesuatu yang berkait dengan-Nya secara rasional, dan inilah yang sekaligus menjadi obyek formanya. Sementara metodologinya, adalah upaya memahami ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah secara mendalam, yang biasa dikenal dengan istilah dialog ilmiah keagamaan. Sebagai sebuah disiplin ilmu, Ilmu Kalam berada satu rumpun dalam disiplin ilmu Pemikiran dalam Islam.
Secara ilmiah, Ilmu Kalam dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu: Pertama, Ilmu Kalam klasik teoritik yang hanya membahas secara teoritik aspek-aspek ketuhanan dan berbagai kaitan-Nya, yang selama ini dibicarakan oleh berbagai aliran teologi Islam. Kedua, Ilmu Kalam kontemporer praktik, yang secara praktik membahas ayat-ayat Allah dan Sunah-sunah Rasul-Nya yang nilai doktrinnya mengadvokasi berbagai ketimpangan sosial. Bagian kedua ini dapat dikembangkan lagi menjadi tiga kategori: Pertama, Teologi Lingkungan; kedua, Teologi Transformatif dan ketiga Teologi Sosial.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah Pengertian Ilmu Kalam?
2.      Bagaimana Latar Belakang Lahirnya Ilmu Kalam?
3.      Bagaimana Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Kalam?
4.      Bagaimana Pemikiran Tokoh-Tokoh Kalam Kontemporer?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui Apakah Pengertian Ilmu Kalam
2.      Mengetahui Bagaimana Latar Belakang Lahirnya Ilmu Kalam
3.      Mengetahui Bagaimana Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Kalam
4.      Mengetahui Bagaimana Pemikiran Tokoh-Tokoh Kalam Kontemporer
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ilmu Kalam
Ilmu Kalam atau Teologi Islam diisitilahkan oleh berbagai pakarnya dengan beragam nama. Abu Hanifah memberi nama dengan istilah ‘ilmu fiqh al-akbar. Imam Syafi’ie, Imam Malik, dan Imam Ja’far al-Sadiq memberi nama dengan istilah ‘Ilmu al-Kalam (tokohnya disebut al-Mutakallimun). Imam al-Asy’ari, al-Bagdady, dan beberapa tokoh al-Azhar University memberi nama dengan istilah ‘Ilmu Ushul al-Din. Al-Thahawi, al-Ghazali, al-Thusi, dan al-Iji memberi nama dengan istilah ‘Ilmu al-Aqa’id. Abdu al-Jabbar memberi nama dengan istilah ‘Ilmu al-Nadhar wa al-Istidlal. Al-Taftazani memberi nama dengan istilah ‘Ilmu al-Tauhid wa al-Shifah. Muhammad ‘Abduh memberi nama dengan istilah ‘Ilmu al-Tauhid. Harry Austyn Wolfson memberi nama dengan istilah The Philosophy of Kalam. Ahmad Mahmud Shubhy memberi nama dengan istilah ‘Ilmi al-Kalam. M Abdel Haleem memberi nama dengan istilah Speculative Theology. C A Qadir memberi nama dengan istilah Dialectica Teology. Sementara itu Harun Nasution memberi nama dengan istilah Teologi Islam.
Tetapi sebagai istilah, kalam tidaklah dimaksudkan "pembicaraan" dalam pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Maka ciri utama Ilmu Kalam ialah rasionalitas atau logika. Karena kata-kata kalam sendiri memang dimaksudkan sebagai ter jemahan kata dan istilah Yunani logos yang juga secara harfiah berarti "pembicaraan", tapi yang dari kata itulah terambil kata logika dan logis sebagai derivasinya. Kata Yunani logos juga disalin ke dalam kata Arab manthiq, sehingga ilmu logika, khususnya logika formal atau silogisme ciptaan Aristoteles dinamakan Ilmu Mantiq ('Ilm al-Mantiq). Maka kata Arab "manthiqi" berarti "logis".
Dari beberapa nama yang menjadi istilah, tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya istilah ilmu kalam itu merupakan transformasi dari pemikiran teologi yang telah berkembang di dunia Barat pada masa sebelumnya. Berkenaan dengan itu, terdapat pakar yang mendefinisikan ilmu kalam sebagai diskursus atau pemikiran tentang Tuhan. Bahkan dengan mengutip istilah yang diberikan oleh William Ockham, L Reese menyatakan bahwa Teologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang meletakkan kebenaran wahyu, lewat argumen filsafat dan ilmu pengetahuan yang independen. Dengan nada yang hampir sama Ibn Khaldun seperti dikutip oleh Mushthafa Abd. Al-Raziq memberikan definisi “Ilmu kalam adalah sebuah disiplin ilmu berkaitan dengan keimanan yang diperkuat dengan menggunakan argumentasi-argumentasi rasional.
Defenisi Ilmu kalam oleh beberapa ilmuwan Islam telah dirangkum oleh Al-khendra yaitu bahwa menurut Abu Zahroh ilmu kalam membahas segala macam persoalan sekitar dzat, nama, dan sifat Tuhan serta masalah yang pelik, seperti persoalan qodar, ikhtiar, atau kebebasan kemauan manusia, dan dengan itu terbawalah pembicaraan tentang bermacam-macam golongan filsafat dan agama yang meluas dan mendalam. Menurut Thabathaba’i kalam ialah pencarin kebenaran dengan jalan pemikiran dialektika. Menurut Abu Bakar Aceh kalam ialah pembahasan tentang perbincangan-perbincangan menyangkut soal ketuhanan. Kontowijoyo mengungkapkan bahwa kalam adalah kajian-kajian keislaman yang memiliki dua model, pertama kajian ulang tentang ajaran-ajaran mormatif dalam berbagai karya klasik, kedua cenderung perlunya orientasi pemahaman keagamaan pada realitas kekinian yang empiris. Sedangkan Nurcholis Majid menguraikan pengertian ilmu kalam sebagai berikut : Secara harfiah, kata kalam berarti “pembicaraan”. Tetapi istilah kalam tidaklah dimaksudkan “pembicaraan” dalam pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika, maka ciri utama ilmu kalam ialah rasionalitas atau logika. Karena kata-kata kalam sendiri memang dimaksudkan sebagai terjemahan kata dan istilah Yunani “logos” yang juga secara harfiyah berarti “pembicaraan”, tetapi yang dari kata itulah terambil kata logika dan logis sebagai derivasinya.
B.     Latar Belakang Lahirnya Ilmu Kalam
Bila mengikuti alur pemikiran Ahmad Hanafi dalam “Theologi Islam”, bahwa sebab musabab munculnya ilmu kalam terdiri dari aspek, intern dan ekstern. Penyebab intern karena memang di dalam Islam sendiri (al-Quran) banyak peluang penafsiran terhadap persoalan ilmu kalam, mengajak kepada tauhid, mempercayai kenabian, kemudian ada semangat mengkaji al-Qura’n dari umat Islam itu sendiri sehingga muncul persoalan-persoalan baru dalam kajian keimanan yang melibatkan aqal sebagai pemberi alasan. Disamping itu ada pergolakan politik yang bergeser ke persoalan aqidah. Sedangkan penyebab ekstern ditandai dengan pertama, banyaknya pemeluk-pemeluk agama lain yang masuk Islam sehingga terjadi pergesekan pemikiran agama-agama. kedua , berawal dari gerakan dakwah untuk membantah alasan-alasan yang memusuhi Islam maka menggunakan senjata mereka (filsafat) untuk mengimbangi argument-argument keagamaan. Ketiga, para intelektual muslim banyak yang mempelajari filsafat sehingga masuklah unsur filsafat dalam kajian ilmu kalam.
Berbeda dengan Ahmad Hanafi, Harun Nasution mengungkapkan bahwa persoalan aqidah dalam Islam sebagai agama pertama-pertama timbul adalah dalam bidang politik dan bukan dalam bidang teologi. Tetapi persoalan-persoalan politik itu segera bergeser dan meningkat dalam bidang-bidang teologi. Dengan kata lain pembahasan teologi itu berasal dari persoalan politik.11 Dalam kajian Harun Nasution, awal kemunculan ilmu kalam bermula dari persoalan pergesekan politik pada waktu itu. Pergesekan politik yang dimaksud adalah ketika terjadi pembunuhan kholifah Usman yang disebut dalam sejarah dengan “Fitnatul Qubro”. Pihak Ustman yang diwakili oleh Muawiyah kerabat dekat Usman bin Affan (waktu itu sudah menjadi gubernur Damaskus) menuntut balas kematian saudaranya. Muawiyah menuntut agar kholifah Ali Bin Abi Tholib menyerahkan pelaku pembunuhan terhadap Ustman Sehingga terjadilah pertempuran ( perstiwa shiffin). Penyelesaian sengketa antara Ali Bin Abi Tholib dan Muawiyah Bin Abi Sofyan dengan jalan arbitrase (tahkim) oleh kaum Khawarij dipandang bertentangan dengan ajaran Islam terutama surat Al-Maidah ayat 44.
Penggunaan term kafir lama-kelamaan menjadi perdebatan yang sangat serius sehingga kemudian bergesar menjadi persoalan siapa yang kafir, kalau kafir berarti murtad dan jika murtad berarti boleh dibunuh dan akhirnya mereka yang kafir, murtad akan masuk neraka. Term kafir, murtad, surga, neraka merupakan istilah yang digunakan dalam agama. Hal ini sudah memasuki wilayah aqidah. Sehingga tidak berlebihan bila Harun Nasution mengatakan bahwa berkembangnya “aliran teologi” dalam Islam dimulai dari persoalan dan pergolakan politik.
Berawal dari peristiwa perang Shiffin itulah muncul berbagai kelompok (belum menjadi sekte). Pertama adalah kelompok Ali bin Abi Tholib yang selalu setia mengikuti, membela Ali yang kemudian dinamakan aliran “Syiah”. Kelompok kedua adalah pengikut Ali yang tidak setuju dengan adanya proses “tahkim” atau “arbitrase”, sehingga kemudin memisahkan diri dan bahkan dengan kalimat yang ekstrim “keluar” (khoroja) yang terkenal dengan kelompk “Khawarij” . Kelompok ketiga adalah pasukan Muawiyah bin Abi Sofyan sebagai kelompok pemenang dalam politik praktis karena kelompok Ali bin Abi Tholib kalah dalam proses perundingan, mereka dinamakan “Al-Jami’ah”.
Dari keempat kelompok ini kemudian berkembang untuk saling memperkuat posisi masing-masing dengan berbagai cara dan strategi. Salah satunya adalah dengan menggunakan “dalil agama”. Agama sebagai kendaraan politik dipakai untuk memberikan dukungan oleh masing-masing kelompok. Sehingga pada masa ini berkembang juga selain penafsiran-penafisran wahyu, muncul juga hadits-hadits maudlu yang intinya upaya penguatan terhadap kelompoknya.
Perkembangan selanjutnya, kelompok-kelompok tersebut berubah menjadi paham atau sekte. Muncul aliran “Khawarij” yang dipelopori oleh Abdullah Ibn Wahab Al-Rasyidi. Sebagai reaksi timbul aliran “Murjiah” yang dipelopori oleh Ghilan Al-Dimasyqi. Pengikut Ali yang selalu dipojokan dengan persoalan tahkim maka muncul pula pengikut setia bahkan fanatik Ali bin Abi Tholib yaitu kaum “Alawi” atau terkenal denagn “Syiah”. Ketika terjadi gesekan-gesekan ideology persoalan “Ketuhanan” maka tampil Wasil Bin Atho dengan tidak sependapat denagn konsep keputusan diserahkan seluruhnya kepada Tuhan. Maka Wasil keluar dari pengajian Hasan Basri (ahli Hadits) dengan panggilan “Mu’tazilah”. Aliran Qodariyah sebenarnya kelanjutan dari efek penggunaan rasio sebagai alat untuk membedah ideology ketuhanan maka muncul free will dan free act (kebebasan kehendak dan perbuatan). Jabariyah adalah kebalikan dari Qodariyah yang mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai kekuatan dalam kehendak dan perbuatan. Hidup manusia itu terpaksa dalam bingkai “Kehendak Tuhan”. Dari pergolakan pemikiran ini maka bermunculanlah tokoh-tokoh pembanding, penganalisis, bahkan penentang dari berbagai paham yang muncul pada waktu itu maka lahirlah tokoh-tokoh seperti Maturidi, Al-Asy-’Ari yang kemudian membentuk sebuah komunitas faham yang bernama “Ahli Sunnah wal Jama’ah”. Ahlis Sunnah maksudnya golongan yang mengembalikan Sunnah atau tradisi sedangkan “Jama’ah” karena pada waktu itu pemikirannya berada di pihak mayoritas yang terdiri dari masyarakat luas.

C.    Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Kalam
Sama halnya dengan disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam juga tumbuh beberapa abad setelah wafat Nabi. Tetapi lebih dari disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam sangat erat terkait dengan skisme dalam Islam. Karena itu dalam penelusurannya ke belakang, kita akan sampai kepada peristiwa pembunuhan 'Utsman Ibn 'Aff'an, Khalifah III. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar), sebagaimana telah banyak dibahas, merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu.
Secara historis, teologi islam bermula sebagai sebuah advokasi keagamaan terhadap ketimpangan sosial (teologi sebagai sebuah axiologi) yang berkembang pada masanya. Untuk kepentingan ini, doktrin keagamaan diinterpretasikan secara rasional, sehingga dapat dijadikan argumen teologis untuk membacking pemikiran/gagasan/idea yang substansinya menentang ketimpangan sosial yang sedang terjadi.
Belakangan, teologi berkembang menjadi sebuah metodologi (Theology as Method). Sehingga sebagai sebuah metodologi/pendekatan, teologi merupakan salah satu diantara beberapa pendekatan yang telah digunakan oleh para ahli sains masa lalu. Di dalam perkembangannya, pendekatan ini juga digunakan oleh para ahli keislaman. Pada masa-masa berikutnya, barulah teologi berkembang menjadi sebuah disiplin ilmu. Dan sebagai sebuah disiplin ilmu di dunia islam, Ilmu Kalam berkembang sejak Abu Hasyim dan kawannya Imam al-Hasan bin Muhammad bin Hanafiah, dan para tokoh Mu’tazilah. Adapun orang pertama yang membentangkan pemikiran ilmu kalam secara lebih baik lewat logikanya adalah Imam al-Asy’ari, seorang tokoh teologi Suni, dengan karya yang terkenal al-Maqalat, juga al-Ibanah ‘an ushul al-diyanah. Teologi ini selain mempunyai obyek kajian tersendiri, yaitu membicarakan ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya, maksudnya keyakinan kebenaran keagamaan islam; ilmu ini juga telah tersusun dengan baik/tersistematisasikan di dalam membahas obyek kajian itu; dan mempunyai metodologi tersendiri yaitu dialog ilmiah keagamaan, serta dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan salah satu dari tiga unsur keimanan seorang Muslim, yaitu dalam aspek nuthqun bi al-lisan.
Pada akhir-akhir ini Ilmu Kalam atau Teologi Islam telah berusaha menjadi sebuah advokasi bagi permasalahan sosial atau menjadi sebuah axiologi. Hal ini tampak dengan berkembangnya istilah-istilah seperti teologi feminisme, teologi gender, teologi kemiskinan, teologi kaum tertindas, teologi transformatif, teologi pembebasan, dan berbagai macam istilah lagi.

D.    Pemikiran Tokoh-Tokoh Kalam Kontemporer
1.      Mohammed Arkoun
Mohammed Arkoun lahir pada tanggal 2 Januari 19283 di perkampungan Berber, sebuah desa di kaki gunung Taorirt-Mimoun, Kabilia, sebelah timur Aljir, Aljazair. Keluarganya berada pada strata fisik dan sosial yang rendah. Pendidikan dasar Arkoun ditempuh di desa asalnya, dan kemudian melanjutkan sekolah menengah di kota pelabuhan Oran, sebuah kota utama di Aljazair bagian barat, yang jauh dari Kabilia. Kemudian, dia melanjutkan studi bahasa dan sastra Arab di Universitas Aljir (1950-1954), sambil mengajar bahasa Arab pada sebuah Sekolah Menengah Atas di al-Harach, yang berlokasi di daerah pinggiran ibukota Aljazair. Pada saat perang kemerdekaan Aljazair dari Perancis (1954-1962), Arkoun melanjukan studi tentang bahasa dan sastra Arab di Universitas Sorbonne, Paris.
Pada tahun 1961, Arkoun diangkat sebagai dosen di Universitas Sorbonne, Paris, sampai tahun 1969, saat ketika dia menyelesaikan pendidikan doktor di bidang sastra pada Universitas tersebut. Arkoun menulis desertasi doktor mengenai humanisme dalam pemikiran etis Miskawaih (w. 1030 M), seorang pemikir Arab di Persia pada abad X M yang menekuni kedokteran dan filsafat. Miskawaih dikenal sebagai tokoh yang menguasai berbagai bidang ilmu dan menekuni persamaan dan perbedaan antara Islam dengan tradisi pemikiran Yunani. Semenjak menjadi dosen di Universitas Sorbonne tersebut, Arkoun menetap di Perancis dan menghasilkan banyak karya yang dipengaruhi oleh perkembangan mutakhir tentang islamologi, filsafat, ilmu bahasa dan ilmu-ilmu sosial di dunia Barat, terutama di dunia tradisi keilmuan Perancis.
Jenjang pendidikan dan pergulatan ilmiah yang ditempuh Arkoun membuat pergaulannya dengan tiga bahasa (Berber Kabilia, Arab dan Perancis) dan tradisi serta kebudayaannya menjadi semakin erat. Di kemudian hari, barangkali inilah yang cukup mempengaruhi perhatiannya yang begitu besar terhadap peran bahasa dalam pemikiran dan masyarakat manusia. Ketiga bahasa tersebut sesungguhnya mewakili tiga tradisi, orientasi budaya, cara berpikir dan cara memahami yang berbeda. Bahasa Berber Kabilia merupakan alat untuk mengungkapkan berbagai tradisi dan nilai mengenai kehidupan sosial dan ekonomi yang sudah ribuan tahun usianya, bahasa Arab merupakan alat untuk melestarikan tradisi keagamaan Islam di Aljazair dan di berbagai belahan dunia Islam lainnya. Sedangkan bahasa Perancis merupakan bahasa administrasi pemerintahan serta alat untuk mengenal nilai-nilai dan tradisi keilmuan Barat, terutama Perancis.
Pada tahun 1970-1972 Arkoun mengajar di Universitas Lyon dan kembali lagi ke Paris sebagai guru besar sejarah pemikiran Islam di Universitas Sorbonne. Karena kepakarannya, Arkoun sering diundang untuk memberi kuliah dan ceramah ilmiah di sejumlah universitas dan institusi keilmuan dunia, seperti University of California, Princeton University, Temple University, Lembaga Kepausan untuk Studi Arab dan Islam di Roma, Universitas Katolik Louvain-la Neuve di Belgia, Universitas Amsterdam, Institut of Ismaili Studies di London, dan sebagainya. Dia juga pernah memberi kuliah di Rabat, Fez, Aljir, Tunis, Damaskus, Beirut, Berlin, Kolumbia, Denver, Indonesia, dan sebagainya. Didalam menjalani profesinya sebagai pengajar, Arkoun selalu menyampaikan pendapatnya secara logis berdasarkan analisis yang memiliki bukti dan interaksi falsafati-religius, sehingga dapat membangkitkan kebebasan berbicara dan berekspresi secara intelektual, serta membuka peluang terhadap kritik.
Selain mengajar, Arkoun juga mengikuti berbagai kegiatan ilmiah dan menduduki jabatan penting di dunia akademis dan masyarakat. Dia menjabat sebagai direktur ilmiah jurnal Arabica, anggota Panitia Nasional Perancis untuk Etika dan Ilmu Pengetahuan Kehidupan dan Kedokteran, anggota Majelis Nasional Perancis untuk AIDS dan anggota Legiun Kehormatan Perancis (chevalier de la Legion d’honneur). Dia pernah mendapat gelar kehormatan, diangkat sebagai Officier des Palmes Academiques, sebuah gelar kehormatan Perancis untuk tokoh terkemuka di dunia universitas dan pernah menjabat sebagai direktur Lembaga Kajian Islam dan Timur Tengah pada Universitas Sorbonne Neuvelle (Paris III).
Arkoun terus mencoba pemahaman-pemahaman yang baru tentang Islam dan kaum Muslim dengan menggunakan teori-teori mutakhir yang berkembang di dunia Barat modern. Upaya tersebut dilakukannya untuk memadukan unsur yang sangat mulia di dalam pemikiran Islam dengan unsur yang sangat berharga di dalam pemikiran Barat modern (rasionalitas dan sikap kritis).

Pemikiran Kalam Al-Arkom
Pemikiran Muhammed Al-Arkom sesungguhnya meliputi pemikiran kontemporer keislama secara umum, yakni menyangkut seluruh aspek ajaran Islam. Adapun pemikirannya di bidang teologi Islam atau Ilmu Kalam dapat dijabarkan sebagai berikut :
a.       Semua hasil semiotik manusia dalam proses penampakan sejarah dan budaya merupakan sasaran dari perubahan sosial yang oleh Arkoun disebut sebagai historicity. Dan sebagai artikulasi makna bagi alat sosial dan budaya, teks al-Qur’an juga merupakan sasaran dari historicity. Dengan demikian, tidak ada akses dari keberadaan historis kita terhadap fenomena absolut di luar fenomena dunia wilayah kita. Penampakan-penampakan yang ditampilkan oleh ontologi (keberadaan kebenaran yang pertama) dan transendensi milik nalar teologis dan nalar metafisis tentu telah meniadakan historisitas sebagai dimensi kebenaran. Hal ini terjadi karena, karena alat-alat, konsep-konsep, definisi-definisi dan postulat-postulat yang terus berubah digunakan untuk mengetahui kebenaran. Hal ini bertentangan dengan semua pemikiran abad pertengahan yang didasarkan pada esensi-esensi dan substansi-substansi yang telah mapan. Konsep wahyu harus ditinjau ulang menurut sistem semiotik yang menjadi sasaran historisitas. Di dalamnya ada demistifikasi dan demitologisasi fenomena kitab suci dari semua sakralisasi dan interpretasi yang dilahirkan oleh nalar teologis.
b.      Terdapat berbagai tingkatan dan bentuk nalar yang berinteraksi dengan angan-angan (imagination) sebagaimana yang telah ditunjukkan di dalam ketegangan antara logos (kalam yang dipedebatkan) dengan mythos (kalam yang tidak dapat dipertanyakan), simbol dengan konsep, metafora dengan realitas, makna dhahir dan makna batin pada sejarah Islam. Imagination dan imaginaire dianggap sebagai bagian dinamis dari ilmu pengetahuan dan tindakan. Ideologi-ideologi yang membuat mobilisasi, baik dalam kerangka agama maupun dalam kerangka sekuler, dihasilkan dan digunakan oleh imaginaire sosial. Pengaruh imaginaire tersebut sangat menentukan di dalam masyarakat Muslim seperti di Timur Tengah, karena budaya rasional hanya mempunyai pengaruh yang sedikit, berbeda dengan masyarakat Barat yang meski juga masih memiliki imaginaire. Garis pemikiran seperti ini merupakan pendekatan mitis dalam metodologi analisis antropologis.
c.       Iman merupakan kristalisasi dari angan-angan, penampilan-penampilan, dan ide-ide yang diberikan secara umum oleh tiap kelompok yang berada di dalam pengalaman sejarah. Dari garis keempat ini, dapat diketahui bahwa pendekatan Arkoun adalah post-strukturalis semiotis sosiokritis dengan metodologi linguistik kritis. Dan perlu diketahui bahwa kata discours menuntut adanya pembicara yang menyampaikan pesan (pengirim), penerima pesan yang bereaksi terhadap pesan yang disampaikan sesuai dengan situasi (konteks) pembicaraan yang berupa suatu lingkungan semiologis yang menentukan emisi dan penerimaan pesan, serta menuntut adanya bahasa yang digunakan sebagai alat penyampaian pesan yang tentu sangat terkait erat dengan cara pandang dan cara pikir para penuturnya.
d.      Pada saat ini kita sedang mengalami krisis legitimasi, di mana sistem legitimasi tradisional yang dikemukakan oleh ilmu Ushul al-Din dan Ushul al-Fiqh sudah tidak memiliki relevansi historis lagi. Belum ada suatu sistem legitimasi baru yang dibangun dengan suara bulat di kalangan umat. Namun, menurut Arkoun, pada saat ini kita sedang tertantang untuk dapat mengajukan sebuah sistem legitimasi bagi ilmu pengetahuan, terutama bagi pemikiran Islam dengan memakai prinsip-prinsip epistemologi kritis. Yang perlu dipertanyakan lebih lanjut adalah apa persyaratan teoritis dari sebuah teologi yang modern, yang ditujukan tidak hanya pada lembaga-lembaga politik, namun juga pada ilmu pengetahuan yang universal dari tiga agama wahyu (Islam, Yahudi dan Kristen). Pendapat Arkoun ini bertentangan dengan jaminan teologis dari pewahyuan atau ontologi klasik mengenai keberadaan awal dari neo-platonik yang didasarkan pada legitimasi syari’ah yang tidak dapat dipertanyakan itu, sehingga Arkoun menggugat adanya legitimasi kekuasaan yang dimonopoli oleh sekelompok orang. Garis pemikiran kelima ini agaknya merupakan pendekatan kritik epistemologis dari metodologi historis filosofis. Titik sentral pemikiran Arkoun terletak pada kata kunci kritik epistemologis yang digunakan dalam banyak konteks yang berbeda-beda dan barangkali terinspirasi dari istilah “kritik” dalam pemikiran Immanuel Kant, sekalipun bisa jadi memang karena budaya kritik yang pernah hidup subur di kalangan umat Islam. Kritik epistemologis ini ditujukan pada bangunan keilmuan agama secara keseluruhan, yang dilihat Arkoun sebagai produk sejarah yang terkait dengan ruang dan waktu tertentu.

Wahyu dan Teks Alqur’an
Untuk kepentingan analisisnya, Arkoun membedakan tiga tingkatan anggitan tentang wahyu. Pertama, wahyu sebagai Firman Allah yang transenden, tidak terbatas dan tidak diketahui oleh manusia. Untuk menunjuk realitas wahyu seperti ini, biasanya dipakai anggitan al-Lauh al-Mahfudh atau Umm al-Kitab. Kedua, wahyu yang diturunkan dalam bentuk pengujaran lisan dalam realitas sejarah yang disebut sebagai discours religious dan berfragmen dalam bentuk kitab Bibel (Taurat dan Zabur), Injil dan Alqur’an. Berkenaan dengan Alqur’an, realitas yang ditunjuk adalah Firman Allah yang diwahyukan ke dalam bahasa Arab kepada Nabi Muhammad selama kurang lebih dua puluh tahun. Dan Ketiga, wahyu yang direkam di dalam catatan, yang ternyata menghilangkan banyak hal, terutama situasi pembicaraan (sementara asbab alnuzul ternyata belum dapat mengembalikan hal-hal yang hilang ketika suatu pembicaraan direkam ke dalam tulisan).
Pencatatan Alqur’an tersebut memiliki sejarah sendiri, yaitu bermula dari tulisan parsial yang terserak-serak sampai pada penetapan corpus officiel clos (mushaf resmi tertutup). Pada awalnya, mushaf resmi tertutup ini masih memungkinkan pembacaan yang berbeda-beda, namun kemudian ditutup dengan adanya dua “pembakuan”. “Pembakuan” tersebut, adalah pertama oleh Abu Bakr Ibn Mujahid pada tahun 324 H yang mengakhiri kemungkinan varian-varian bacaan dengan hanya mengesahkan tujuh bacaan saja, dan kedua, oleh adanya penerbitan Alqur’an standar di Kairo tahun 1924 M yang kemudian disebarluaskan ke seluruh dunia.
Penyebaran dalam skala teks ini membuat tidak bisa dipikirkannya kembali persoalan-persoalan besar dalam teologi klasik dan tidak bisa dibukanya kemungkinan adanya suatu penyelidikan yang bertujuan untuk membedakan Qur’anic fact (le fait coranique) dengan Islamic fact (le fait islamique). Kenyataan qur’ani memiliki sifat transenden, transhistoris, dan terbuka terhadap berbagai kemungkinan pemaknaan, sedangkan kenyataan islami memiliki sifat historis dan merupakan pengejawantahan dari salah satu garis makna yang terkandung di dalam kenyataan qur’ani.
Kenyataan islami lahir melalui penafsiran manusia (baik oleh ahli fiqh maupun kalam) terhadap kenyataan qur’ani, yang dapat dibuktikan dengan banyaknya garis, aliran, dan corak pemikiran, seperti sunni, syi’i, khariji dan berbagai cabangnya yang berusaha mendapat pengakuan sebagai pemilik kebenaran tertentu, walaupun sebenarnya merupakan gerakan politik.
Problem tersebut kemudian diteruskan dengan munculnya corpus interpretes (korpus-korpus penafsir) yang lahir sebagai produktifitas teks dan bukan sebagai produktifitas wacana. Ternyata, kesemua itu kemudian disebut sebagai ajaran suci yang menghasilkan sejarah penyelamatan manusia. Tentang hal ini, Arkoun juga menjelaskan dalam bentuk gambar sebagai berikut:

Pembacaan al-Qur’an
Arkoun menyadari bahwa dengan kelahiran teks Alqur’an, perubahan mendasar di kalangan umat dalam memahami wahyu telah terjadi. Raison graphique (nalar grafis) telah mendominasi cara berpikir umat, sehingga logos kenabian (prophetique) didesak oleh logos pengajaran (professoral). Selain itu juga telah terjadi pemiskinan kemungkinan untuk memahami wahyu dari segala dimensinya. Dalam kategori semiotik, teks Alqur’an sebagai parole didesak oleh teks sebagai langue, sehingga Alqur’an kini tetap menjadi parole bagi kaum mukmin. Langue adalah keseluruhan kebiasaan yang diperoleh secara pasif yang diajarkan oleh masyarakat bahasa, dan parole adalah keseluruhan apa yang diujarkan orang dan merupakan manifestasi individu dari bahasa. Untuk itulah, menurut Arkoun, tujuan qira’ah adalah untuk comprendre, mengerti komunikasi kenabian yang hendak disampaikan lewat teks yang bersangkutan, yaitu mencari makna yang hendak disampaikan lewat teks tersebut, dengan cara mengoptimalkan setiap kemungkinan untuk mereproduksi makna.
Arkoun melihat, paling tidak ada tiga macam cara pembacaan Alqur’an. Pertama, secara liturgis, yaitu memperlakukan teks secara ritual yang dilakukan pada saatsaat shalat dan doa-doa tertentu. Pembacaan liturgis ini bertujuan untuk “mereaktualisasikan saat awal ketika Nabi mengujarkannya untuk pertama kali” agar didapatkan kembali keadaan ujaran (situation de discours) dari “ujaran 1”.
Dengan cara ini, manusia melakukan komunikasi rohani, baik secara horisontal maupun vertikal, dan sekaligus melakukan pembatinan terhadap kandungan wahyu. Kedua, pembacaan secara eksegesis yang berfokus utama pada “ujaran 2”, yaitu ujaran yang termaktub di dalam mushaf, seperti yang dilakukan oleh Fakhr al-Din al-Razi (w. 606 H/1209 M). Dan ketiga, cara baca yang ingin dikenalkan oleh Arkoun, yaitu dengan cara memanfaatkan temuan-temuan metodologis yang disumbangkan oleh ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu bahasa.
Menurut Arkoun, ketiga cara baca tersebut tidak saling menyisihkan satu sama lain, dan bahkan saling memberikan sumbangan untuk memahami teks-teks Illahi yang tidak akan pernah tuntas dikupas oleh manusia. Untuk pembacaan seperti itu, Arkoun mengajukan tahap pembacaan Alqur’an ke dalam dua tahap kritis, yaitu tahap linguistik kritis dan tahap hubungan kritis. Dalam tahap pertama, pembacaan dilakukan dengan memakai data-data linguistik (seperti tanda-tanda bahasa, modalisateurs du discours, aras sintaksis, aras semantik dan sebagainya) untuk mengetahui maksud dari pengujar (locateurs). Dan pada tahap kedua, pembacaan dilakukan dengan menempuh dua langkah, langkah kesatu eksplorasi historis (meneliti khazanah tafsir klasik dan berupaya menemukan petanda terakhir di dalamnya dengan kode-kode linguistik, keagamaan, kultural, simbolis, anagogis, dan sebagainya) dan langkah kedua eksplorasi antropologis (dilakukan dengan analisis mitis/simbolis, dengan memeriksa tanda, simbol dan mitos yang menyertai sebuah qira’ah).
Pemikiran-pemikiran Arkoun yang telah dikemukakan tersebut, ternyata mendapatkan sambutan di kalangan intelektual Muslim di seluruh dunia. Corak pemikiran model Arkoun dinilai oleh beberapa kalangan sebagai corak yang sangat berbeda dengan pemikiran Islam yang telah ada. Telaah Arkoun, berbeda dengan telaah model orientalis (yang juga dikritiknya) dan berbeda dengan model pemikiran kaum Muslim lainnya.
Arkoun berbeda dengan Hassan Hanafi yang bobot kalam dan filsafatnya sangat kental, atau berbeda dengan Sayyid Hussein Nasr yang bobot tasawwuf dan filsafatnya sangat menonjol dan lebih-lebih lagi berbeda dengan model Ismail Raji al-Faruqi dan Syed Muhammad Naquib al-Attas yang lebih bernuansa islamisasi ilmu pengetahuan. Arkoun yang post-modernis berbeda dengan Fazlur Rahman yang modernis dengan belum begitu tegas dan tandas dalam menguraikan metodologi dan alat keilmuan yang diperlukan untuk mencapai tujuan rekonstruksi sistematis dan bahkan sesekali ragu jika harus dihadapkan dengan pilihan antara model pemikiran Islam yang beraroma “normatif” atau “historis empiris”, yang kemudian dijawab secara tegas oleh Arkoun dengan memilih yang “historis empiris”. Arkoun bahkan juga mengkritik pemikiran Taha Husein dan Ali Abd Raziq sebagai pemikiran yang tidak didasarkan pada kebijaksanaan untuk mencari kompromi antara kebebasan intelektual yang tercerahkan dengan prasangka-prasangka keagamaan dari massa.
Namun demikian, Arkoun dapat ditempatkan sama dengan Edward Said, Fatima Mernissi dan Hassan Hanafi yang melihat hasil dan pembacaan teks sebagai tindakan politik. Atau bahkan dapat dinilai sama seperti Nasr Hamid Abu Zayd yang menempatkan teks al-Qur’an sebagai hasil sosial budaya dan mengajukan pembacaan al-Qur’an dengan tinjauan ilmu semiotik historis.
Karena karya Arkoun berada di dalam wilayah kajian epistemologi murni dan kurang menyentuh secara langsung pada bangunan pemikiran keagamaan, maka karya Arkoun dinilai oleh sementara kalangan kurang memperoleh gaung di dalam masyarakat, pengikut berbagai agama. Bahasa yang digunakan Arkoun juga dinilai serba rumit dengan memakai istilah dan anggitan yang tanpa rumusan secara jelas dalam berbagai artinya yang berbeda-beda, sehingga cukup menyulitkan untuk dipahami, meskipun begitu mampu menumbuhkan kesadaran untuk memperluas cakrawala ilmu pengetahuan para pembacanya.

2.      Fazlur Rahman
Fazlur Rahman lahir pada tanggal 21 September 1919 yang letaknya di Hazara sebelum terpecahnya India, kini merupakan bagian dari Pakistan. Fazlur Rahman di besarkan dalam madzhab Hanafi. Madzhab Hanafi merupakan madzhab yang didasari al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi cara berfikirnya lebih rasional. Dengan demikian tidak dapat di pungkiri Fazlur Rahman juga rasional di dalam berfikirnya, meskipun ia mendasarkan pemikirannya pada al-Qur’an dan sunnah.
Fazlur Rahman dilahirkan dari keluarga miskin yang taat pada agama. Ketika hendak mencapai usia 10 tahun ia sudah hafal al-Qur’an walaupun ia di besarkan dalam keluarga yang mempunyai pemikiran tradisional akan tetapi ia tidak seperti pemikir tradisional yang menolak pemikiran modern, bahkan Ayahnya berkeyakinan bahwa islam harus memandang modernitas sebagai tantangan dan kesempurnaan. Ayahnya Maulana Shihabudin adalah alumni dari sekolah menengah terkemuka di India, Darul Ulum Deoband . Meskipun Fazlur Rahman tidak belajar di Daril Ulum, ia menguasai kurikulum Dares Nijami yang di tawarkan di lembaga tersebut dalam kajian privat dengan Ayahnya, ini melengkapi latar belakangnya dalam memahami islam tradisional dengan perhatian khusus pada fikih, Ilmu kalam, Hadits, Tafsir, Mantiq, dan Filsafat. Setelah mempelajari ilmu-ilmu dasar ini, ia melanjutkan ke Punjab University di Lahore dimana ia lulus dengan penghargaan untuk bahasa Arabnya dan di sana juga ia mendapatkan gelar MA-nya. Pada tahun 1946 ia pergi ke Oxford dengan mempersiapkan disertasi dengan Psikologi Ibnu Sina di bawah pengawasan professor Simon Van Den Berg. Disertasi itu merupakan terjemah kritikan dan kritikan pada bagian dari kitab An-Najt, milik filosof muslim kenamaan abad ke-7, setelah di Oxford ia mengajar bahasa Persia dan Filsafat Islam di Durham University Kanada dari tahun 1950-1958. ia meninggalkan Inggris untuk menjadi Associate Professor pada kajian Islam di Institute Of Islamic Studies Mc. Gill University Kanada di Montreal. Dimana dia menjabat sebagai Associate Professor Of Philosophy.
Pada awal tahun 60 an Fazlur Rahman kembali ke Pakistan. Pada bulan Agustus 1946 Fazlur Rahman di tunjuk sebagai Direktur Riset Islam, setelah sebelumnya menjabat sebagai staf lembaga tersebut. Selain menjabat sebagai Direktur Lembaga Riset Islam, pada tahun 1964 ia di tunjuk sebagai anggota dewan penasehat Ideologi Pemerintah Pakistan. Namun usaha Fazlur Rahman sebagai seorang pemikir modern di tentang keras oleh para ulama tradisional-findamentalis. Puncak dari segala kontroversialnya memuncak ketika 2 bab karya momumentalnya, Islam ( 1966 ) di tentang keras karena pernyataan Fazlur Rahman dalam buku tesebut “ Bahwa Al-Qur’an itu secara keseluruhan adalah kalam Allah dan dalam pengertian biasa juga seluruhnya merupakan perkataan Muhammad “ sehingga Fazlur Rahman di anggap orang yang memungkiri Al-Qur’an kemudian pada 5 September 1986 ia mengundurkan diri dari jabatan Direktur lembaga Riset Islam yang langsung di kabulkan oleh Ayyub Khan.
Tidak kurang dari 18 tahun lamanya Fazlur Rahman menetap di Chicago dan mengkomunikasikan gagasan-gagasannya baik lewat lisan maupun tulisan sampai akhir tahun memanggilnya pulang pada tahun 26 juli 1988 jauh sebelum ia sudah terkena penyakit diabetes yang kronis dan serangan jantung sehingga ia harus di operasi. Operasi ini berhasil se tidak-tidaknya untuk beberapa minggu hingga ajal menjemputnya. Kepergian beliau merupakan suatu kehilangan bagi dunia Intelektual Islam.

Pemikiran Fazlur Rahman
Fazlur Rahman dengan segala kemampuan intelektualnya sudah tentu tidak bebas dari kekurangan dan kelemahan. Maka adalah hak kita untuk menerima, menyetujui atau menolak seluruh atau sebagian hasil pemikirannya untuk semua pada posisi penerimaan atau penolakan, seorang intelektual pencari kebenaran sudah tentu akan mengumpulkan berbagai informasi yang berkaitan dengan pendapat dan pemikiran yang di kemukakan untuk menilai pendapat Fazlur Rahman, orang harus memahami al-Qur’an sebagai sebuah ajaran yang utuh lebih dulu, di samping Sunnah, Sejarah Islam dan lain-lain. Di antara pemikiran Fazlur Rahman antara lain :
a.       Ia menegaskan bahwa al-Qur’an bukanlah suatu karya misterius atau karya sulit yang memerlukan manusia berlatih secara teknis untuk memahami dan menafsirkan perintah-perintahnya, di sini di jelaskan pula prosedur yang benar untuk memahami al-Qur’an
b.      Seseorang harus mempelajari al-Qur’an dalam Ordo Histories untuk mengapresiasikan tema-tema dan gagasan-gagasannya.
c.       Seseorang harus mengkajikan dalam konteks latar belakang social historisnya, hal ini tidak hanya berlaku untuk ayat-ayatnya secara individual tapi juga untuk al-Qur’an secara keseluruhan. Tanpa memahami latar belakang mikro dan makronya secara memadai. Menurut Fazlur Rahman, besar kemungkinan seseorang akan salah tangkap terhadap élan dan maksud al-Qur’an aktifitas Nabi baik di Mekkah atau di Madinah.
d.      Dalam karyanya Islam and Modernity 1982 Fazlur Rahman menekankan, akan mutlak perlunya mensistematiskan materi ajaran al-Qur’an. Tanpa usaha ini bisa terjadi penerapan ayat-ayatnya secara individual dan terpisah berbagai situasi akan menyesatkan.

Fazlur Rahman adalah sosok pemikir intelektual yang tinggi di mana ia dapat menghasilkan karya-karyanya yang begitu banyak dan bermanfaat penting bagi ilmu pengetahuan kita. Hasil karyanya yang begitu banyak dapat memperluas pengetahuan tentang tasawuf dan juga filsafat. Dengan berbagai cara dan jalan yang di tempuh beliau untuk menyampaikan gagasannya yang bernilai sangat tinggi sebagai suatu gerakan Islam. Dalam pengembangan agamanya adalah perjuangan beliau selama hidup. Karya-karya yang begitu banyak mengajarkan kita segala ilmu pengetahuan tentang islam yang pertama kali di ajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana cara Fazlur Rahman menjelaskan tentang wahyu dan perjalanan Nabi Muhammad dalam menyebarkan islam. Fazlur Rahman juga menjelaskan apa itu al-Qur’an dan segala bentuk ajaran agama Islam. Serta asal-usul perkembangan tradisi sampai perkembangan modern juga tentang filsafatnya telah banyak di sampaikan.




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pemikiran Islam kontemporer maksudnya adalah pemikiran Islam yang berkembang pada masa modern (abad 19 masehi) hingga sekarang. Ciri khas pemikirannya adalah bersifat agresif yang berkembang dengan metodo pemikiran baru dalam menafsirkan Al-Qur’an dan peradaban Islam.
Fazlur Rahman adalah satu dari banyak pemikir Muslim kontemporer yang mengakui secara padu pendekatan ilmiah modern dan mempertahankan iman secara intensif dan mendalam. Untuk dapat menggabungkan dua sikap ini, ia mengajukan diri untuk membangun sebuah visi Islam yang murni, dengan menggunakan pemahaman yang lebih baik terhadap pengalaman Nabi, kondisi-kondisi historis dan politik yang di dalamnya pengalaman itu terjadi, dan transformasi-transformasi yang diusahakannya untuk tercipta dalam masyarakat.
Mohammed Arkoun, Dia mengkritik orang yang menggunakan Islam untuk kepentingan ideologi. Dia berusaha mencari bentuk lain hubungan baru antara iman dan pikiran, subyek dan obyek, Islam, Kristen, Yahudi, Syi’ah, Sunni, Timur, Barat, Utara dan Selatan. Ia juga mengkritik pemikiran Islam dan orientalis yang tidak membawa umat Islam kepada posisi sesuai dengan kehendak Tuhan. Pemikiran Arkoun berpusat pada dekontruksi baik atas pemikiran Islam maupun orientalis dan mencoba untuk merumuskan kembali Islam yang aktual.







DAFTAR PUSTAKA

Abdou, Filali-Ansary. 2009. Pembaruan Islam dari Mana dan Hendak Ke Mana? Bandung: Mizan Pustaka.

Bukhori, Pahrurroji M. 2003. Membebaskan Agama Dari Negara; Pemikiran Abdurrahman Wahid  Dan Ali Abd Ar-Raziq. Bantul: Pondok Sanusi

Haw, Akhmal. 2005. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Palembang : IAIN Raden Patah Press.

Idrus, Junaidi. 2004. Rekontruksi Pemikiran Nurcholis Madjid Membangun Visi Dan Misi Baru Islam  Di Indonesia, Sleman: Logung Pustaka,

Nata, Abuddin. 2005. Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Taifikur, Rahman.  2007. Pemikiran dan Gerakan Pembaruan Islam Abad Modern dan Kontemporer. Surabaya: Dian ilmu.

Taufik, Akhmad dkk.  2005. Sejarah Pemikiran Dan Tokoh Modernisme Islam, (Jakarta: Raja Grafindo  Persada,

Sulhani Hermawan, Mohammed Arkoun dan Kajian Ulang Pemikiran Islam, Dinamika Vol. 3 No. 1 Tahun 2004

1 komentar:

  1. As stated by Stanford Medical, It's in fact the one and ONLY reason women in this country get to live 10 years more and weigh 42 pounds lighter than us.

    (Just so you know, it has NOTHING to do with genetics or some secret-exercise and really, EVERYTHING to do with "HOW" they eat.)

    P.S, What I said is "HOW", and not "what"...

    TAP this link to see if this little quiz can help you decipher your real weight loss potential

    BalasHapus