Minggu, 02 Oktober 2016

Makalah : Keadaan Hukum Perdata Di Indonesia



KATA PENGANTAR

Puji syukur saya haturkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Keadaan Hukum Perdata Di Indonesia”.

Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada Dosen saya yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada saya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.



Belitang,     September 2016


Penyusun










DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................... 1
A.    Latar Belakang................................................................................................. 1
B.     Rumusan Masalah ........................................................................................... 1
C.     Tujuan Pembahasan.......................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................... 2
A.     Pengertian Hukum Perdata............................................................................. 2
B.      Sistematika Hukum Perdata............................................................................ 2
C.      Perihal Orang dalam Hukum........................................................................... 4
D.     Hukum Perkawinan......................................................................................... 7

BAB III PENUTUP .................................................................................................... 14
A.    Kesimpulan ...................................................................................................... 14
B.     Saran ................................................................................................................ 14

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 15









BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hukum perdata di Indonesia adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuaanya berfungsi untuk mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi pelanggarnya.
 Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana).
 Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan. Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPerdata.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW) yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah Pengertian Hukum Perdata?
2.      Bagaimana Sistematika Hukum Perdata?
3.      Bagaimana Perihal Orang dalam Hukum?
4.      Bagaimana bentuk Hukum Perkawinan?

C.    Tujuan Pembahasan
1.      Mengetahui apakah Pengertian Hukum Perdata.
2.      Mengetahui bagaimana Sistematika Hukum Perdata.
3.      Mengetahui bagaimana Perihal Orang dalam Hukum.
4.      Mengetahui bagaimana bentuk Hukum Perkawinan.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hukum Perdata
Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antara perorangan di dalam masyarakat. Hukum Perdata mempunyai arti yang luas, yakni meliputi semua Hukum Privat Materiil, dan dapat dikatakan sebagai lawan dari Hukum Pidana.
Hukum Privat Materiil (Hukum Perdata Materiil) adalah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antar perseorangan di dalam masyarakat dan kepentingan dari masing-masing orang yang bersangkutan. Di dalamnya terkandung hak dan kewajiban seseorang dengan sesuatu pihak secara timbal balik dalam hubungan terhadap orang lain di dalam suatu masyarakat tertentu.
Disamping Hukum Privat Materiil, juga dikenal Hukum Perdata Formiil yang lebih dikenal dengan HAP (Hukum Acara Perdata) yang artinya hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek di lingkungan pengadilan perdata.

B.     Sistematika Hukum Perdata
Sistematika atau isi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang ada dan berlaku di Indonesia, ternyata bila dibandingkan dengan Kitab Undang-Undang hukum Perdata yang ada dan berlaku di negara lain tidaklah terlalu jauh berbeda. Hal ini dimungkinkan karena mengacu atau paling tidak mendapatkan pengaruh yang sama, yaitu dari hukum Romawi ( Code Civil ).
Sistematika Hukum Perdata (BW) ada 2 pendapat.

Pendapat yang pertama yaitu, dari pemberlaku Undang-Undang berisi:
·         Buku I
Berisi mengenai orang. Di dalamnya diatur hukum tentang diri seseorang dan hukum kekeluargaan.

·         Buku II
Berisi tentang hal benda. Dan di dalamnya diatur hukum kebendaan dan   hukum waris.
·         Buku III
Berisi tentang perikatan. Di dalamnya diatur hak-hak dan kewajiban timbal balik antara orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
·         Buku IV
Berisi tentang pembuktian dan daluarsa. Di dalamnya diatur tentang alat-alat pembuktian dan akibat-akibat hukum yang timbul dari adanya daluwarsa itu.

Pendapat pembentuk Undang-Undang (BW)
·         Buku 1            : mengenai orang
·         Buku II           : mengenai benda
·         Buku III          : mengenai perikatan
·         Buku IV          : mengenai pembuktian

Pendapat yang kedua menurut Ilmu Hukum/ Doktrin dibagi dalam 4 bagian yaitu:
a.       Hukum tentang diri seseorang (pribadi)
Mengatur tentang manusia sebagai subyek dalam hukum, mengatur tentang prihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-hak itu dan selanjutnya tentang hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.

b.      Hukum Kekeluargaan
Mengatur prihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan yaitu:
Perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dengan istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele.
c.       Hukum Kekayaan
Mengatur prihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Jika kita mengatakan tentang kekayaan seseorang maka yang dimaksudkan ialah jumlah dari segala hak dari kewajiabn orang itu dinilaikan dengan uang.
Hak-hak kekayaan terbagi lagi atas hak-hak yang berlaku terhadap tiap-tiap oarang, oleh karenanya dinamakan hak Mutlak dan hak yang hanya berlaku terhadap seseorang atau pihak tertentu saja dan karenanya di namakan hak perseorangan.
Hak mutlak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak kebendaan. Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak kebendaan.
Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat.
-         Hak seorang pengarang atas karangannya
-         Hak seseorang atas suatu pendapat dalam lapangan Ilmu Pengetahuan atau hak pedagang untuk memakai sebuah merk, dinamakan hak mutlak saja.
d.      Hukum Warisan
Mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia meninggal. Disamping itu Hukum Warisan mengatur akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang

C.    Perihal Orang dalam Hukum
Dalam hukum, perkataan orang (persoon) berarti pembawa hak atau subyek di dalam hukum. Sekarang ini boleh dikatakan, bahwa tiap manusia itu pembawa hak, tetapi belum begitu lama berselang masih ada budak belian yang menurut hukum tidak lebih dari suatu barang saja. Peradaban kita sekarang sudah sedemikian majunya, hingga suatu perikatan pekerjaan yang dapat dipaksakan tidak diperbolehkan lagi di dalam hukum. Seorang yang tidak suka melakukan suatu pekerjaan yang ia harus lakukan menurut perjanjian, tidak dapat secara langsung dipaksa untuk melakukan pekerjaan itu. Paling banyak ia hanya dapat dihukum untuk membayar kerugian yang berupa uang yang untuk itu harta bendanya dapat disita. Karena memang sudah menjadi suatu asas dalam Hukum Perdata, bahwa semua kekayaan seseorang menjadi tanggungan untuk segala kewajibannya. Juga yang dinamakan "kematian perdata", yaitu suatu hukuman yang menyatakan bahwa seseorang tidak dapat memiliki sesuatu hak lagi — tidak terdapat dalam hukum sekarang ini (pasal 3 B.W.). Hanyalah mungkin, seseorang — sebagai hukuman — dicabut sementara hak-haknya, misalnya kekuasaannya sebagai orang tua terhadap anak-anaknya, kekuasaannya sebagai wali, haknya untuk bekerja pada angkatan bersenjata dan sebagainya. Berlakunya seseorang sebagai pembawa hak, mulai dari saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal. Malahan, jika perlu untuk kepentingannya, dapat dihitung surut hingga mulai orang itu berada di dalam kandungan, asal saja kemudian ia dilahirkan hidup, hal mana penting sekali berhubung dengan waris-an-warisan yang terbuka pada suatu waktu, di mana orang itu masih berada di dalam kandungan.
Meskipun menurut hukum sekarang ini, tiap orang tiada yang terkecuali dapat memiliki hak-hak, akan tetapi di dalam hukum tidak semua orang diperbolehkan bertindak sendiri dalam melaksanakan hak-haknya itu. Berbagai golongan orang, oleh undang-undang telah dinyatakan "tidak cakap," atau "kurang cakap" untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum. Yang dimaksudkan di sini, ialah orang-orang yang belum dewasa atau masih kurang umur dan orang-orang yang telah ditaruh di bawah pengawasan (curatele), yang selalu harus diwakili oleh orang tuanya, walinya atau kuratornya. Menurut B.W., orang dikatakan masih di bawah umur apabila ia belum mencapai usia 21 tahun, kecuali jikalau ia sudah kawin. Kalau ia sudah kawin ia tidak akan menjadi orang yang di bawah umur lagi, meskipun perkawinannya itu diputuskan sebelum ia mencapai usia 21 tahun itu.
Selanjutnya menurut B.W. seorang perempuan yang telah kawin pada umumnya juga tidak diperbolehkan bertindak sendiri dalam hukum, tetapi harus dibantu oleh suaminya. Ia termasuk golongan orang yang oleh hukum dianggap kurang cakap untuk bertindak sendiri. Selain itu, di dalam B.W. terdapat berbagai pasal yang secara khusus memperbedakan antara kecakapan-kecakapan orang lelaki dan orang perempuan, misalnya :
1.      Seorang perempuan dapat kawin, jika ia sudah berumur 15 tahun dan seorang lelaki jika ia sudah berumur 18 tahun;
2.      Seorang perempuan tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat 300 hari setelah perkawinan diputuskan, sedangkan untuk seorang lelaki, tidak terdapat larangan semacam ini;
3.      Seorang lelaki baru diperbolehkan mengakui seorang anaknya, jika ia sudah berusia paling sedikit 19 tahun, sedangkan untuk seorang perempuan tiada suatu pembatasan umur seperti ini.
Di samping orang-orang (manusia), telah nampak pula di dalam hukum ikut sertanya badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan yang dapat juga memiliki hak-hak dan melakukan perbuatanperbuatan hukum seperti seorang manusia. Badan-badan dan perkumpulan-perkumpulan itu, mempunyai kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu-lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan dapat juga menggugat di muka Hakim. Pendek kata, diperlakukan sepenuhnya sebagai seorang manusia. Badan atau perkumpulan yang demikian itu, dinamakan Badan hukum atau rechts-persoon, artinya orang yang diciptakan oleh hukum. Badan Hukum, misalnya : suatu wakaf, suatu stichting, suatu perkumpulan dagang yang berbentuk Perseroan Terbatas atau N.V. dan lain sebagainya.
Tiap orang menurut hukum, harus mempunyai tempat tinggal yang dapat dicari. Tempat tersebut dinamakan domicili. Juga Badan Hukum harus mempunyai tempat kedudukan tertentu. Hal ini perlu untuk menetapkan beberapa hal, misalnya : di mana seorang harus kawin, di mana seorang harus dipanggil dan ditarik di muka hakim. Pengadilan mana yang berkuasa terhadap seseorang dan sebagainya.
Biasanya orang mempunyai domicili di tempat kediaman pokok. Tetapi bagi orang yang tidak mempunyai tempat kediaman tertentu, domicili dianggap berada di tempat ia sungguh-sungguh berada.
Sebagian orang mempunyai domicili mengikut pada domicile orang lain, misalnya : seorang isteri, kecuali jikalau ia telah berpisah dari meja dan tempat tidur, mempunyai domicili di tempat tinggal suaminya; seorang anak mempunyai domicili di tempat tinggal orang tuanya dan seorang yang ditaruh di bawah pengawasan (curatele) mempunyai domicili di tempat tinggal kuratornya.
Ada juga domicili yang dipilih berhubung dengan suatu urusan, misalnya dua pihak dalam suatu kontrak memilih domicili di kantor seorang notaris atau di kantor kepaniteraan suatu Pengadilan Negeri.
-       Undang-undang Perkawinan menetapkan usia 18 tahun sebagai usia kedewasaan (pasal 50).
-       Suami isteri masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum (pasal 31).
Ini bermaksud untuk memudahkan pihak penggugat bila sampai terjadi suatu perkara di muka hakim.
Pengertian rumah kematian yang sering dipakai dalam undangundang tidak lain seperti "domicili penghabisan" dari seorang yang meninggal. Pengertian ini, penting untuk menentukan hukum mana yang berlaku dalam soal warisannya, hakim mana yang berkuasa mengadili perkara tentang warisan itu dan penting pula berhubung dengan peraturan yang memperkenankan kepada orang-orang yang menghutangkan si meninggal untuk menggugat "seluruh ahli waris" pada rumah kematian tersebut dalam waktu enam bulan sesudah meninggalnya orang itu.

D.    Hukum Perkawinan
a.      Dasar Perkawinan
Pada dasarnya hukum yang mengenai tentang hukum perkawinan sudah diatur dalam undang-undang hukum perdata atau BW ,namun penerapan hukum perkawinan tidak terlepas dari waga negara indonesia yang beragam .
1.       Pengrtian perkawinan
a)      Pengrtian perkawinan KUHPer, UU, No 1 TH 1974, peraturan pemerintah no.9 tahun 1975 dan kompilasi hukum islam.
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang peria dengan seorang perempuan dengan tujuan membinan keluarga yang baik yang bahagia kekal dan berdsarkan ketuhanan yang maha esa.
b)      Adapun undang-undang tentang perkawinan BAB I Dasar perkawinan dalam
Pasal 1
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang peria dengan  seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketentuan tuhan yang maha esa.
Pasal 2
Perkawinan adalah sah, apabila dialakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Dalam pasal ini perkawinan akan sah apabila sesuai dengan agama dan kepercayaan (adat),menurut hukum adat perkawinan bisa merupakan urusan ,kekerabatan,kekeluargaan ,martabat. sehingga perkawinan yang ada di indonesia tidak harus sesuai dengan hukum yang ada dalam KUHPer.
Bedasaran hukum adat ,menurut acara terjadinya perkawinan ada beberapa cara di berbagai daerah.
·         Kawin pinang (meunjukan ciri-ciri yang sangat umumn).
Kawin pinang merupakan kawin yang dilakukan sebagian besar masyarakat indonesia sebab cara ini menunjukkan ciri-ciri yang sangat umum bagi masyarakat indonesia.
·         Kawin lari bersama
Kawin lari bersama merupakan kawin yang melarikan diri baik calon suami-isteri tampa peminangan terlebih dahulu formal ,pasangan yang melarikan diri bisa meningalkan pesan baik berupa tulisan maupun ucapan dari seorang yang dekat dengan kedua calon yang melarikan diri ,dan perkawinan akan terjadi kedau belah pihak melakukan musyawarah terlebih dahulu.
Namun konsekwansi dalam perkawinan ini memang ada diantaranya sbb:
ü  Permayaran jujur
ü  Pepberian perkawinan
ü  Dan pembayaran tambahan lainya
·         Kawin bawa lari
Perkawinan ini seriang dilakukan oleh orang bali lampung.yang membedakan nya dengan perkawinan lari bersama ,sering kali ditentukan.si  pemudi benar-benar dibawa lari dan pemuda bisanya bisa dibunuh .



b.      Syarat-syarat perkawinan
Didalam undang-undang no,1 tahun 1974  perkawinan di indonesi BAB II SYARAT-SYARAT PERKAWINAN  meliputi sbb:
1)       Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2)       Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapi umumr 21.harus mendapat ijin dari orang tua.
3)       Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka ijin dimaksut ayat (2)pasal ini cukup diperbolehkan dari orang tua atau yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu mengatakan kehendak.
4)       Dalam hal keddua orang tua meninggal atau dalam kadaan tidak mampu mengatakan kehendak maka ijin diperoleh dari wali orang yang memelihara atu keluarga yang memiliki hubanuang darah dalam garis keturunan yang lurus keatas selama mereka masih hidupdalam keadaan menyatakan kehendak.
5)       Dalam hal ada perbedaaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam (2),(3) dan (4).pasal ini salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya,maka pengadilan daerah hukum tempat tinggal yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapatmemberikan izin terlebih dahulu mendengar orang tersebut dalam ayat (2),(3) dan (4).
6)       Ketentuan tersebut ayat(1) sampai (5)pasal ini berlaku sepanjang hukum saing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang bersngkutan tidak menentukan lain.

c.       Dalam asa monogami
Yang dianut dalam UU perkawian tampak  jelas dalam pasal 3 ayat 1 UUP  yang mengatakan bahwa pada asanya dalam satu perkawinan seorang peria hanya boleh memiliki seorang isteri dan dan begitupula dengan lelaki .asas monogami merupakan asas yang ada di dalam perkawinan yang menjelaskan bahwa seorang laki-laki dan perempuan hanya bisa kawin satu kali saja berdasarkan pasal diatas.
Namun ayat 2 ketentuan tersebut membuka peluang bagi seorang suami untuk berpoligami,pasal 3 ayat (2) UUP menentukan bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan .pormalitas untuk beristeri lebih dari satu diatur dalam pasal 4 dan 5 UUP yaitu harus dengan mengajukan pemohonan kepada pengadilan daerah tempat tinggal, izin untuk berpoligami akan diberikan oleh pengadilan apabila:
Adapun syart-syart berpoligami atau beristeri lebih dari seorang dalam UUP bab VIII menjelaakn bahwa.
                  Pasal 40
Apabila saeorang suami bermaksut untuk beristeri lebih dari seorang
Pasal 41
            Pengadilan kemudia  memeriksa mengenai :
a)     Ada atu tudak alasan memungkinkan seorang suami kawin lagi adalah:
o   Bahwa isteri tidak bisa dapat menjalankan kewajiban sebagi isteri.
o   Bahwa isteri mndapat cacat badan penyakit yang tdiak dapat disembuhkan .
o   Bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturumnan.
b)      Adany atau tidaknya persetujuan dari isteri,baik persetujuan lisan mapun tulisan apabila persetujuan itu berebntuk lisan ,maka persetujuan itu harus diucapak di muka pengadilan.
c)      Ada atu tidak kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-istri dan anak-anak memperlihatkan.
o   Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang di tandatangani oleh bendahara tempatkerja.
o     Surat keterangan pajak pengasilan
o     Suarat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan
d)     Ada atau tidak adany ajaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadp isteri-isteri dan anak-anak ereaka dengan pernyataan atau jajnji dari suami yang dibuat dlam bentuk yang ditetapkan untuk itu.


                  Pasal 42
Dalam melakukan pernikahan mengenai hal-hal pada pasal 40 dan 41 pengadilan harus memangil  dan mendengar isteri yang bersangkutan.

d.      Pencegahan dan pembatalan perkawinan
1.       Pencegahan perkawinan
Didalam perkawinan adakalanya terdapat  pencegahan terhadap hal itu ini terjadi beberapa kesalahan dan ketidak cocokan yang ada pada kedua belah pihak baik dari laki-laki maupun perempuan namun didalam undang-undang perkawinan di indonesia dalam bab II pencegahan perkawinan ada beberapa pasal diantaranya sbb:
a.        Pasal 13
Perkawinan dapat dijegah,apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
b.       Pasal 14
1)     Yang dapat menjegah perkawinan adalah para keluarga dalam geris keturunan lurus ketas dan kebawah,saudara,wali nikah,wali pengampu dari salah satu calaon mempelai dan pihak-pihak yang berkepntingan.
2)      Mereka yang tersebut dalam pasal (1) pasal ini juga berhak mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah salah satu dari calon mempelai berada dibawah pengampuan,sehingga dalam perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan dari calon mempelai yang lainya,yang memeiliki hubuungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam psal (1).
c.        Pasal 15
Barang saiapa yang masih terkait dalam salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya suatu perkawinan dapat mencegah perkawinan yang baru dan tidak mengurai ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 undang-undang ini.


d.       Pasal 16
1.     Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam pasal 7 ayat (1) pasal 8,pasal 9,pasal 10 daan pasal 12 undang-undang ini dipenuhi.
2.     Menegnai pejabat yang ditunjuk sebagai mana disebut dalam psal ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
e.        Pasal 17
1.     Pencegahan perkawinan diajukan kepada pengadilan di daerah hukum diaman diadakanya perkawinan dengan memberitahukan kepala pegawai pencatatan perkawinan.
2.     Kepada calaon mempelai diberitahu mengenai pemohonan pencegah perkawinan dimasut dalam ayat (2) pasal ini oleh pegawai pencatatan perkawinan,
f.        Pasal 17
Pencegahan perkawinan dapat diisebut dengan putusan pengadilan atau dengan atau dengan menarik kembali pemohonan pencegahan kepada pengadilan oleh yang menjegah.

2.       Batalanya perkawinan
Kemudina didalma pasal undang-undang ttg perkawinan yang menjealsakna batalnya perkawinan ada beberapa pasal yaitu pada bab IV diantaranya sbb;

Pasal 22
Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 23
Yang dapat menjatuhkan pembatalan perkawinan yaitu :
a.       Para keluarga dari garis keturunan lurus ketas dan kebawah.
b.      Suami atau isteri
c.       Pejabat yanag berwenang selama perkawinan belum diputuskan.
Pasal 2
Perkawinan adalah sah,apabila dialakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Ada pertentangan :namun takala ada terjadi pertantangan maka diambilkan hukum yang lebih menonjol kepada hukumyang berlaku di wilayah setempat ,misalnya di papua wanita yang bisa menenun maka bisa melakukan perkawinan,mreka sah melakukan perkawinan namun tidak dicatat dan apabila bergugat maka di pengadilan tidak di uruskan.
Berbeda agama bagimana dengan pernikahan maka tidak akan dicatatkan di catatan sipil ,atu bila perlu melakukan pindah agama dulu baru melakukan perkawinan,adapun tentang poligami lebih mengadipsi ttg hukum agama sihngga lelaki yang melakukan poligame harus mendaptakan 4 seorang isteri maksimmal.
Poligami sebenarnya memiliki dua pengrtian diantaranya sbb:
·         Isteri satu suami lebih dari satu (ini juga disebut dengan poli andri namun tidak diatur dalam undang-undang sehingga dalam hal ini lebih menonjol dikatakn sebagai poli andri ).
·         Suami satu isteri lebih dari satu (berlaku dalam uup yg lebih mengadopsi hukum isalm )



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antara perorangan di dalam masyarakat. Hukum Perdata mempunyai arti yang luas, yakni meliputi semua Hukum Privat Materiil, dan dapat dikatakan sebagai lawan dari Hukum Pidana.
Sistematika atau isi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang ada dan berlaku di Indonesia, ternyata bila dibandingkan dengan Kitab Undang-Undang hukum Perdata yang ada dan berlaku di negara lain tidaklah terlalu jauh berbeda.
Dalam hukum, perkataan orang (persoon) berarti pembawa hak atau subyek di dalam hukum. Sekarang ini boleh dikatakan, bahwa tiap manusia itu pembawa hak, tetapi belum begitu lama berselang masih ada budak belian yang menurut hukum tidak lebih dari suatu barang saja.
Pada dasarnya hukum yang mengenai tentang hukum perkawinan sudah diatur dalam undang-undang hukum perdata atau BW ,namun penerapan hukum perkawinan tidak terlepas dari waga negara indonesia yang beragam .

B.     Saran
Demikian makalah sederhana ini kami susun. Terima kasih atas antusiasme dari pembaca yang sudi menelaah isi makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak berharap para pembaca sudi memberikan saran kritik konstruktif kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada umumnya.


DAFTAR PUSTAKA


Muhammad Abdulkadire,”hukum perdata indonesia”, Penerbit PT . Citra Adytia Bakti,Bandung,1993.

Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014)

Abdul Karir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (bandung: Citra Aditya Bakti, 1993).

Ishaq, Pengantar Hukum Indonesia (PHI), (Jakarta; Rajawali Pers, 2014)

Roihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (yogyakarta, PT raja gerafindo persada, 2010, cetakan ke-14)

Imam sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (yogyakarta,liberti,1981,cetakan ke-2)

Undang-undang perkawinan di indonesia, (surabaya,arkola)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar