KATA PENGANTAR
Puji syukur saya haturkan kehadirat Allah SWT, yang atas
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah
yang berjudul “Keadaan Hukum Perdata Di Indonesia”.
Dalam Penulisan makalah ini penulis
merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi,
mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari
semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam
menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada Dosen saya yang telah memberikan
tugas dan petunjuk kepada saya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.
Belitang, September 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................... 1
A. Latar Belakang................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................... 1
C. Tujuan Pembahasan.......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................... 2
A. Pengertian Hukum Perdata............................................................................. 2
B. Sistematika Hukum Perdata............................................................................ 2
C. Perihal Orang dalam
Hukum........................................................................... 4
D. Hukum Perkawinan......................................................................................... 7
BAB III PENUTUP .................................................................................................... 14
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 14
B. Saran ................................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum perdata di Indonesia adalah
sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh pihak
yang berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuaanya berfungsi untuk
mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi
pelanggarnya.
Hukum perdata disebut pula hukum privat atau
hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal
yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan
pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum
administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana).
Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada
hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.
Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPerdata.) yang berlaku di
Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk
Wetboek (atau dikenal dengan BW) yang berlaku di kerajaan Belanda dan
diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas
konkordansi.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah Pengertian Hukum Perdata?
2.
Bagaimana Sistematika Hukum Perdata?
3.
Bagaimana Perihal Orang dalam Hukum?
4.
Bagaimana bentuk Hukum Perkawinan?
C. Tujuan Pembahasan
1.
Mengetahui apakah Pengertian Hukum Perdata.
2.
Mengetahui bagaimana Sistematika Hukum Perdata.
3.
Mengetahui bagaimana Perihal Orang
dalam Hukum.
4.
Mengetahui bagaimana bentuk Hukum
Perkawinan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hukum Perdata
Hukum
Perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antara perorangan di dalam masyarakat.
Hukum Perdata mempunyai arti yang luas, yakni meliputi semua Hukum Privat
Materiil, dan dapat dikatakan sebagai lawan dari Hukum Pidana.
Hukum
Privat Materiil (Hukum Perdata Materiil) adalah hukum yang memuat segala
peraturan yang mengatur hubungan antar perseorangan di dalam masyarakat dan
kepentingan dari masing-masing orang yang bersangkutan. Di dalamnya terkandung
hak dan kewajiban seseorang dengan sesuatu pihak secara timbal balik dalam
hubungan terhadap orang lain di dalam suatu masyarakat tertentu.
Disamping
Hukum Privat Materiil, juga dikenal Hukum Perdata Formiil yang lebih dikenal
dengan HAP (Hukum Acara Perdata) yang artinya hukum yang memuat segala
peraturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek di lingkungan
pengadilan perdata.
B. Sistematika Hukum Perdata
Sistematika atau isi
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang ada dan berlaku di Indonesia, ternyata
bila dibandingkan dengan Kitab Undang-Undang hukum Perdata yang ada dan berlaku
di negara lain tidaklah terlalu jauh berbeda. Hal ini dimungkinkan karena
mengacu atau paling tidak mendapatkan pengaruh yang sama, yaitu dari hukum
Romawi ( Code Civil ).
Sistematika Hukum Perdata (BW) ada 2 pendapat.
Pendapat yang pertama yaitu, dari pemberlaku Undang-Undang
berisi:
·
Buku
I
Berisi mengenai orang. Di dalamnya
diatur hukum tentang diri seseorang dan hukum kekeluargaan.
·
Buku
II
Berisi tentang hal benda. Dan di
dalamnya diatur hukum kebendaan dan hukum waris.
·
Buku
III
Berisi tentang perikatan. Di dalamnya
diatur hak-hak dan kewajiban timbal balik antara orang-orang atau pihak-pihak
tertentu.
·
Buku
IV
Berisi tentang pembuktian dan daluarsa. Di dalamnya diatur
tentang alat-alat pembuktian dan akibat-akibat hukum yang timbul dari adanya
daluwarsa itu.
Pendapat pembentuk Undang-Undang
(BW)
·
Buku
1 : mengenai orang
·
Buku
II : mengenai benda
·
Buku
III : mengenai
perikatan
·
Buku
IV : mengenai pembuktian
Pendapat
yang kedua menurut Ilmu Hukum/ Doktrin dibagi dalam 4 bagian yaitu:
a.
Hukum
tentang diri seseorang (pribadi)
Mengatur
tentang manusia sebagai subyek dalam hukum, mengatur tentang prihal kecakapan
untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan
hak-hak itu dan selanjutnya tentang hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan
itu.
b.
Hukum
Kekeluargaan
Mengatur
prihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan yaitu:
Perkawinan beserta hubungan dalam
lapangan hukum kekayaan antara suami dengan istri, hubungan antara orang tua
dan anak, perwalian dan curatele.
c.
Hukum
Kekayaan
Mengatur
prihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Jika kita
mengatakan tentang kekayaan seseorang maka yang dimaksudkan ialah jumlah dari
segala hak dari kewajiabn orang itu dinilaikan dengan uang.
Hak-hak
kekayaan terbagi lagi atas hak-hak yang berlaku terhadap tiap-tiap oarang, oleh
karenanya dinamakan hak Mutlak dan hak yang hanya berlaku terhadap seseorang
atau pihak tertentu saja dan karenanya di namakan hak perseorangan.
Hak mutlak
yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak
kebendaan. Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang
dapat terlihat dinamakan hak kebendaan.
Hak mutlak
yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat.
-
Hak
seorang pengarang atas karangannya
-
Hak
seseorang atas suatu pendapat dalam lapangan Ilmu Pengetahuan atau hak pedagang
untuk memakai sebuah merk, dinamakan hak mutlak saja.
d.
Hukum
Warisan
Mengatur
tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia meninggal. Disamping itu Hukum
Warisan mengatur akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap harta
peninggalan seseorang
C.
Perihal
Orang dalam Hukum
Dalam
hukum, perkataan orang (persoon) berarti pembawa hak atau subyek di
dalam hukum. Sekarang ini boleh dikatakan, bahwa tiap manusia itu pembawa hak,
tetapi belum begitu lama berselang masih ada budak belian yang menurut hukum
tidak lebih dari suatu barang saja. Peradaban kita sekarang sudah sedemikian
majunya, hingga suatu perikatan pekerjaan yang dapat dipaksakan tidak diperbolehkan
lagi di dalam hukum. Seorang yang tidak suka melakukan suatu pekerjaan yang ia
harus lakukan menurut perjanjian, tidak dapat secara langsung dipaksa untuk
melakukan pekerjaan itu. Paling banyak ia hanya dapat dihukum untuk membayar
kerugian yang berupa uang yang untuk itu harta bendanya dapat disita. Karena
memang sudah menjadi suatu asas dalam Hukum Perdata, bahwa semua kekayaan
seseorang menjadi tanggungan untuk segala kewajibannya. Juga yang dinamakan "kematian
perdata", yaitu suatu hukuman yang menyatakan bahwa seseorang tidak dapat
memiliki sesuatu hak lagi — tidak terdapat dalam hukum sekarang ini (pasal 3
B.W.). Hanyalah mungkin, seseorang — sebagai hukuman — dicabut sementara hak-haknya,
misalnya kekuasaannya sebagai orang tua terhadap anak-anaknya, kekuasaannya
sebagai wali, haknya untuk bekerja pada angkatan bersenjata dan sebagainya. Berlakunya
seseorang sebagai pembawa hak, mulai dari saat ia dilahirkan dan berakhir pada
saat ia meninggal. Malahan, jika perlu untuk kepentingannya, dapat dihitung
surut hingga mulai orang itu berada di dalam kandungan, asal saja kemudian ia
dilahirkan hidup, hal mana penting sekali berhubung dengan waris-an-warisan
yang terbuka pada suatu waktu, di mana orang itu masih berada di dalam kandungan.
Meskipun
menurut hukum sekarang ini, tiap orang tiada yang terkecuali dapat memiliki
hak-hak, akan tetapi di dalam hukum tidak semua orang diperbolehkan bertindak
sendiri dalam melaksanakan hak-haknya itu. Berbagai golongan orang, oleh
undang-undang telah dinyatakan "tidak cakap," atau "kurang
cakap" untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum. Yang dimaksudkan
di sini, ialah orang-orang yang belum dewasa atau masih kurang umur dan orang-orang
yang telah ditaruh di bawah pengawasan (curatele), yang selalu harus
diwakili oleh orang tuanya, walinya atau kuratornya. Menurut B.W., orang
dikatakan masih di bawah umur apabila ia belum mencapai usia 21 tahun, kecuali
jikalau ia sudah kawin. Kalau ia sudah kawin ia tidak akan menjadi orang yang
di bawah umur lagi, meskipun perkawinannya itu diputuskan sebelum ia mencapai
usia 21 tahun itu.
Selanjutnya
menurut B.W. seorang perempuan yang telah kawin pada umumnya juga tidak
diperbolehkan bertindak sendiri dalam hukum, tetapi harus dibantu oleh
suaminya. Ia termasuk golongan orang yang oleh hukum dianggap kurang cakap untuk
bertindak sendiri. Selain itu, di dalam B.W. terdapat berbagai pasal yang
secara khusus memperbedakan antara kecakapan-kecakapan orang lelaki dan orang
perempuan, misalnya :
1. Seorang
perempuan dapat kawin, jika ia sudah berumur 15 tahun dan seorang lelaki jika
ia sudah berumur 18 tahun;
2. Seorang
perempuan tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat 300 hari setelah
perkawinan diputuskan, sedangkan untuk seorang lelaki, tidak terdapat larangan
semacam ini;
3. Seorang
lelaki baru diperbolehkan mengakui seorang anaknya, jika ia sudah berusia
paling sedikit 19 tahun, sedangkan untuk seorang perempuan tiada suatu
pembatasan umur seperti ini.
Di
samping orang-orang (manusia), telah nampak pula di dalam hukum ikut sertanya
badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan yang dapat juga memiliki hak-hak dan
melakukan perbuatanperbuatan hukum seperti seorang manusia. Badan-badan dan perkumpulan-perkumpulan
itu, mempunyai kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu-lintas hukum dengan
perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan dapat juga menggugat di muka Hakim.
Pendek kata, diperlakukan sepenuhnya sebagai seorang manusia. Badan atau
perkumpulan yang demikian itu, dinamakan Badan hukum atau rechts-persoon, artinya
orang yang diciptakan oleh hukum. Badan Hukum, misalnya : suatu wakaf, suatu
stichting, suatu perkumpulan dagang yang berbentuk Perseroan Terbatas atau N.V.
dan lain sebagainya.
Tiap
orang menurut hukum, harus mempunyai tempat tinggal yang dapat dicari. Tempat
tersebut dinamakan domicili. Juga Badan Hukum harus mempunyai tempat
kedudukan tertentu. Hal ini perlu untuk menetapkan beberapa hal, misalnya : di
mana seorang harus kawin, di mana seorang harus dipanggil dan ditarik di muka
hakim. Pengadilan mana yang berkuasa terhadap seseorang dan sebagainya.
Biasanya
orang mempunyai domicili di tempat kediaman pokok. Tetapi bagi orang yang tidak
mempunyai tempat kediaman tertentu, domicili dianggap berada di tempat ia
sungguh-sungguh berada.
Sebagian
orang mempunyai domicili mengikut pada domicile orang lain, misalnya : seorang
isteri, kecuali jikalau ia telah berpisah dari meja dan tempat tidur, mempunyai
domicili di tempat tinggal suaminya; seorang anak mempunyai domicili di tempat
tinggal orang tuanya dan seorang yang ditaruh di bawah pengawasan (curatele) mempunyai
domicili di tempat tinggal kuratornya.
Ada
juga domicili yang dipilih berhubung dengan suatu urusan, misalnya dua pihak
dalam suatu kontrak memilih domicili di kantor seorang notaris atau di kantor
kepaniteraan suatu Pengadilan Negeri.
-
Undang-undang Perkawinan menetapkan
usia 18 tahun sebagai usia kedewasaan (pasal 50).
-
Suami isteri masing-masing berhak
untuk melakukan perbuatan hukum (pasal 31).
Ini bermaksud untuk
memudahkan pihak penggugat bila sampai terjadi suatu perkara di muka hakim.
Pengertian
rumah kematian yang sering dipakai dalam undangundang tidak lain seperti
"domicili penghabisan" dari seorang yang meninggal. Pengertian ini,
penting untuk menentukan hukum mana yang berlaku dalam soal warisannya, hakim
mana yang berkuasa mengadili perkara tentang warisan itu dan penting pula
berhubung dengan peraturan yang memperkenankan kepada orang-orang yang menghutangkan
si meninggal untuk menggugat "seluruh ahli waris" pada rumah kematian
tersebut dalam waktu enam bulan sesudah meninggalnya orang itu.
D.
Hukum
Perkawinan
a.
Dasar Perkawinan
Pada dasarnya hukum yang
mengenai tentang hukum perkawinan sudah diatur dalam undang-undang hukum
perdata atau BW ,namun penerapan hukum perkawinan tidak terlepas dari waga
negara indonesia yang beragam .
1.
Pengrtian perkawinan
a)
Pengrtian perkawinan
KUHPer, UU, No 1 TH 1974, peraturan pemerintah no.9
tahun 1975 dan kompilasi hukum islam.
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang peria dengan seorang perempuan dengan tujuan membinan keluarga yang
baik yang bahagia kekal dan berdsarkan ketuhanan yang maha esa.
b)
Adapun undang-undang
tentang perkawinan BAB I Dasar perkawinan dalam
Pasal 1
Perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang peria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketentuan tuhan yang maha esa.
Pasal 2
Perkawinan adalah sah, apabila dialakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu.
Dalam pasal ini perkawinan
akan sah apabila sesuai dengan agama dan kepercayaan (adat),menurut hukum adat
perkawinan bisa merupakan urusan ,kekerabatan,kekeluargaan ,martabat. sehingga
perkawinan yang ada di indonesia tidak harus sesuai dengan hukum yang ada dalam
KUHPer.
Bedasaran hukum adat
,menurut acara terjadinya perkawinan ada beberapa cara di berbagai daerah.
·
Kawin pinang (meunjukan
ciri-ciri yang sangat umumn).
Kawin pinang merupakan
kawin yang dilakukan sebagian besar masyarakat indonesia sebab cara ini
menunjukkan ciri-ciri yang sangat umum bagi masyarakat indonesia.
·
Kawin lari bersama
Kawin lari bersama
merupakan kawin yang melarikan diri baik calon suami-isteri tampa peminangan
terlebih dahulu formal ,pasangan yang melarikan diri bisa meningalkan pesan
baik berupa tulisan maupun ucapan dari seorang yang dekat dengan kedua calon
yang melarikan diri ,dan perkawinan akan terjadi kedau belah pihak melakukan
musyawarah terlebih dahulu.
Namun konsekwansi dalam
perkawinan ini memang ada diantaranya sbb:
ü Permayaran jujur
ü Pepberian perkawinan
ü Dan pembayaran tambahan lainya
·
Kawin bawa lari
Perkawinan ini seriang
dilakukan oleh orang bali lampung.yang membedakan nya dengan perkawinan lari
bersama ,sering kali ditentukan.si pemudi benar-benar dibawa lari dan
pemuda bisanya bisa dibunuh .
b.
Syarat-syarat perkawinan
Didalam undang-undang no,1
tahun 1974 perkawinan di indonesi BAB II SYARAT-SYARAT PERKAWINAN meliputi sbb:
1)
Perkawinan harus
didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2)
Untuk melangsungkan perkawinan
seorang yang belum mencapi umumr 21.harus mendapat ijin dari orang tua.
3)
Dalam hal salah seorang
dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
menyatakan kehendaknya maka ijin dimaksut ayat (2)pasal ini cukup diperbolehkan
dari orang tua atau yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu mengatakan
kehendak.
4)
Dalam hal keddua orang tua
meninggal atau dalam kadaan tidak mampu mengatakan kehendak maka ijin diperoleh
dari wali orang yang memelihara atu keluarga yang memiliki hubanuang darah
dalam garis keturunan yang lurus keatas selama mereka masih hidupdalam keadaan
menyatakan kehendak.
5)
Dalam hal ada perbedaaan
pendapat antara orang-orang yang disebut dalam (2),(3) dan (4).pasal ini salah
seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya,maka pengadilan
daerah hukum tempat tinggal yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan
orang tersebut dapatmemberikan izin terlebih dahulu mendengar orang tersebut
dalam ayat (2),(3) dan (4).
6)
Ketentuan tersebut ayat(1)
sampai (5)pasal ini berlaku sepanjang hukum saing-masing agama dan kepercayaan
itu dari yang bersngkutan tidak menentukan lain.
c.
Dalam asa monogami
Yang dianut dalam UU perkawian tampak jelas dalam pasal 3 ayat 1
UUP yang mengatakan bahwa pada asanya dalam satu perkawinan seorang peria
hanya boleh memiliki seorang isteri dan dan begitupula dengan lelaki .asas
monogami merupakan asas yang ada di dalam perkawinan yang menjelaskan bahwa
seorang laki-laki dan perempuan hanya bisa kawin satu kali saja berdasarkan
pasal diatas.
Namun ayat 2 ketentuan tersebut membuka peluang bagi seorang suami untuk
berpoligami,pasal 3 ayat (2) UUP menentukan bahwa pengadilan dapat memberi izin
kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh
pihak-pihak yang bersangkutan .pormalitas untuk beristeri lebih dari satu
diatur dalam pasal 4 dan 5 UUP yaitu harus dengan mengajukan pemohonan kepada
pengadilan daerah tempat tinggal, izin untuk berpoligami akan diberikan oleh
pengadilan apabila:
Adapun syart-syart berpoligami atau beristeri lebih dari seorang dalam UUP
bab VIII menjelaakn bahwa.
Pasal 40
Apabila saeorang suami bermaksut untuk beristeri lebih dari seorang
Pasal 41
Pengadilan kemudia memeriksa mengenai :
a) Ada atu tudak alasan memungkinkan seorang suami kawin lagi adalah:
o Bahwa isteri tidak bisa
dapat menjalankan kewajiban sebagi isteri.
o Bahwa isteri mndapat cacat
badan penyakit yang tdiak dapat disembuhkan .
o Bahwa isteri tidak dapat
melahirkan keturumnan.
b)
Adany atau tidaknya persetujuan dari isteri,baik
persetujuan lisan mapun tulisan apabila persetujuan itu berebntuk lisan ,maka
persetujuan itu harus diucapak di muka pengadilan.
c)
Ada atu tidak kemampuan suami untuk menjamin keperluan
hidup isteri-istri dan anak-anak memperlihatkan.
o Surat keterangan mengenai
penghasilan suami yang di tandatangani oleh bendahara tempatkerja.
o Surat keterangan pajak pengasilan
o Suarat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan
d) Ada atau tidak adany ajaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadp
isteri-isteri dan anak-anak ereaka dengan pernyataan atau jajnji dari suami
yang dibuat dlam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
Pasal 42
Dalam melakukan pernikahan
mengenai hal-hal pada pasal 40 dan 41 pengadilan harus memangil dan
mendengar isteri yang bersangkutan.
d.
Pencegahan dan pembatalan
perkawinan
1.
Pencegahan perkawinan
Didalam perkawinan adakalanya terdapat pencegahan terhadap hal itu
ini terjadi beberapa kesalahan dan ketidak cocokan yang ada pada kedua belah
pihak baik dari laki-laki maupun perempuan namun didalam undang-undang
perkawinan di indonesia dalam bab II pencegahan perkawinan ada beberapa pasal
diantaranya sbb:
a.
Pasal 13
Perkawinan dapat dijegah,apabila ada pihak yang tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
b.
Pasal 14
1) Yang dapat menjegah perkawinan adalah para keluarga dalam geris keturunan
lurus ketas dan kebawah,saudara,wali nikah,wali pengampu dari salah satu calaon
mempelai dan pihak-pihak yang berkepntingan.
2) Mereka yang tersebut dalam pasal (1) pasal ini juga berhak mencegah
berlangsungnya perkawinan apabila salah salah satu dari calon mempelai berada
dibawah pengampuan,sehingga dalam perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan
kesengsaraan dari calon mempelai yang lainya,yang memeiliki hubuungan dengan
orang-orang seperti tersebut dalam psal (1).
c.
Pasal 15
Barang saiapa yang masih terkait dalam salah satu dari kedua belah pihak
dan atas dasar masih adanya suatu perkawinan dapat mencegah perkawinan yang
baru dan tidak mengurai ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 undang-undang
ini.
d.
Pasal 16
1. Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan
apabila ketentuan-ketentuan dalam pasal 7 ayat (1) pasal 8,pasal 9,pasal 10
daan pasal 12 undang-undang ini dipenuhi.
2. Menegnai pejabat yang ditunjuk sebagai mana disebut dalam psal ayat (1)
pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
e.
Pasal 17
1. Pencegahan perkawinan diajukan kepada pengadilan di daerah hukum diaman
diadakanya perkawinan dengan memberitahukan kepala pegawai pencatatan
perkawinan.
2. Kepada calaon mempelai diberitahu mengenai pemohonan pencegah perkawinan
dimasut dalam ayat (2) pasal ini oleh pegawai pencatatan perkawinan,
f.
Pasal 17
Pencegahan perkawinan dapat diisebut dengan putusan pengadilan atau dengan
atau dengan menarik kembali pemohonan pencegahan kepada pengadilan oleh yang
menjegah.
2.
Batalanya
perkawinan
Kemudina didalma pasal undang-undang ttg perkawinan yang menjealsakna
batalnya perkawinan ada beberapa pasal yaitu pada bab IV diantaranya sbb;
Pasal 22
Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat untuk
melangsungkan perkawinan.
Pasal 23
Yang dapat menjatuhkan pembatalan perkawinan yaitu :
a. Para keluarga dari garis keturunan lurus ketas dan kebawah.
b. Suami atau isteri
c. Pejabat yanag berwenang selama perkawinan belum diputuskan.
Pasal
2
Perkawinan
adalah sah,apabila dialakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
Ada pertentangan :namun takala ada terjadi pertantangan maka diambilkan
hukum yang lebih menonjol kepada hukumyang berlaku di wilayah setempat
,misalnya di papua wanita yang bisa menenun maka bisa melakukan perkawinan,mreka
sah melakukan perkawinan namun tidak dicatat dan apabila bergugat maka di
pengadilan tidak di uruskan.
Berbeda agama bagimana dengan pernikahan maka tidak akan dicatatkan di
catatan sipil ,atu bila perlu melakukan pindah agama dulu baru melakukan
perkawinan,adapun tentang poligami lebih mengadipsi ttg hukum agama sihngga
lelaki yang melakukan poligame harus mendaptakan 4 seorang isteri maksimmal.
Poligami sebenarnya
memiliki dua pengrtian diantaranya sbb:
·
Isteri satu suami lebih
dari satu (ini juga disebut dengan poli andri namun tidak diatur dalam
undang-undang sehingga dalam hal ini lebih menonjol dikatakn sebagai poli
andri ).
·
Suami satu isteri lebih
dari satu (berlaku dalam uup yg lebih mengadopsi hukum isalm )
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hukum
Perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antara perorangan di dalam
masyarakat. Hukum Perdata mempunyai arti yang luas, yakni meliputi semua Hukum
Privat Materiil, dan dapat dikatakan sebagai lawan dari Hukum Pidana.
Sistematika atau isi
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang ada dan berlaku di Indonesia, ternyata
bila dibandingkan dengan Kitab Undang-Undang hukum Perdata yang ada dan berlaku
di negara lain tidaklah terlalu jauh berbeda.
Dalam hukum, perkataan orang (persoon) berarti
pembawa hak atau subyek di dalam hukum. Sekarang ini boleh dikatakan, bahwa tiap
manusia itu pembawa hak, tetapi belum begitu lama berselang masih ada budak
belian yang menurut hukum tidak lebih dari suatu barang saja.
Pada dasarnya hukum yang
mengenai tentang hukum perkawinan sudah diatur dalam undang-undang hukum
perdata atau BW ,namun penerapan hukum perkawinan tidak terlepas dari waga
negara indonesia yang beragam .
B.
Saran
Demikian makalah
sederhana ini kami susun. Terima kasih atas antusiasme dari pembaca yang sudi
menelaah isi makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya,
kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak berharap para pembaca sudi
memberikan saran kritik konstruktif kepada penulis demi sempurnanya makalah ini
dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini
berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Abdulkadire,”hukum perdata indonesia”, Penerbit PT
. Citra Adytia Bakti,Bandung,1993.
Munir
Fuady, Konsep Hukum Perdata, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014)
Abdul
Karir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (bandung: Citra Aditya Bakti, 1993).
Ishaq,
Pengantar Hukum Indonesia (PHI), (Jakarta; Rajawali Pers, 2014)
Roihan A Rasyid, Hukum Acara
Peradilan Agama, (yogyakarta, PT raja gerafindo persada,
2010, cetakan
ke-14)
Imam sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (yogyakarta,liberti,1981,cetakan ke-2)
Undang-undang
perkawinan di indonesia,
(surabaya,arkola)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar